Bahtera Alam – Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki luas hutan 125,2 juta hektar, dan itu termasuk luasan yang cukup besar. Terbukti dunia menyebut Indonesia menjadi benteng terakhir planet bumi bersama Amazon (Brazil) dan Hutan Kongo (Afrika), dunia mengakui itu pada Konferensi Iklim ke-26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia.
Adapun luas tersebut terbagi diantaranya 29,1 juta hektar sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta hektar sebagai kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta hektar sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta hektar sebagai kawasan konservasi, dan 12,8 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.
Dalam sejarahnya, Indonesia mengalami beberapa dekade tentang pengelolaan hutan mulai dari masa penjajahan VOC, masa penjajahan Hindia Belanda, Penjajahan Jepang, masa pemerintahan orde baru, dan masa pemerintahan reformasi. Dari itu semua sistem pengelolaan ataupun skema pengelolaan hutan saat itu berbeda, karena kembali lagi atas dasar kepentingan.
Seiring berjalan waktu, paradigma pengelolaan hutan saat ini berubah dari “scientific forest” menjadi paradigma pengelolaan hutan yang berbasis kemasyarakatan/ sosial. Meskipun demikian, tata kelola hutan di Indonesia hingga saat ini masih menyisakan berbagai ragam persoalan termasuk berbagai konflik vertikal dan horizontal, ketidakjelasan status hukum akan lahan, dan tidak diakuinya berbagai hak kelola rakyat atas wilayah tersebut.
Dalam pengelolaan hutan, pemerintah sendiri telah memiliki regulasi yang menjadi acuan dalam mengimplementasikan pengelolaan hutan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8 Tahun 2021. Regulasi ini sebenarnya lebih pada administration base yang akan menjadi bahan bagi negara untuk mengetahui jejak atau track dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan itu sendiri. Tidak hanya itu, regulasi ini dinilai kurang kuat untuk dijadikan panduan dalam mengelola hutan secara berkelanjutan atau bertanggung jawab, kearifan lokal/ secara adat menjadi solusi konkrit dan telah terbukti mampu mengelola atau menjaga hutan itu.
Indonesia merupakan rumah bagi banyak etnis ataupun masyarakat adat yang telah menempati republik ini sejak lama. Tidak heran masyarakat adat ini tersebar dan menempati tanah-tanah leluhur mereka yang sangat mereka jaga terutama hutan adat mereka.
Masyarakat lokal biasanya memiliki banyak prinsip atau norma-norma tradisional yang dihormati dan dipraktekkan masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sekitar, yaitu antara lain ketergantungan manusia terhadap alam yang mensyaratkan adanya keselarasan hubungan di antara keduanya, di mana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang berarti harus dijaga keseimbangannya.
Kedekatan manusia secara fisik dan emosional dengan lingkungan sumberdaya alam khususnya hutan sudah terjadi secara turun temurun atau diwariskan dari leluhur mereka, sehingga manusia memiliki sikap atau habit yang muncul dari adat istiadat mereka dengan pola dan struktur dalam mengelola dan menjaga hutan (kearifan lokal).
Kearifan lokal itu sendiri merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya.
Saat ini eksistensi dari kearifan lokal dalam mengelola hutan sudah semakin meningkat dengan adanya skema perhutanan sosial yang diinisiasi oleh pemerintahan Joko Widodo. Masyarakat kembali optimis untuk menjaga hutan mereka demi kepentingan bersama dan kemaslahatan hidup mereka di masa depan.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat menjadi bukti konkrit keberhasilan mereka dalam merawat, menjaga dan memanfaat hutan tanpa harus merusak dan tentunya secara berkelanjutan. Keberhasilan ini diperkuat dengan masuknya isu ini dalam pembahasan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim/ COP26 di Glasgow, Skotlandia pada November 2021.
Pada COP26 menghasilkan beberapa kesepakatan yang multi interest dihadiri oleh pemimpin-pemimpin seluruh dunia yang pada dasarnya mengacu untuk mendukung target peningkatan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Di sektor kehutanan, para pemimpin negara sepakat untuk mengakhiri deforestasi selambat-lambatnya pada 2030, untuk meningkatkan fungsi ekologis dari hutan, baik untuk penyerapan karbon maupun kelestarian sumberdaya hayati dan menjaga fungsi ekosistem (UN Climate Change, 2021)
Salah satu yang menjadi highlight dari kesepakatan itu adalah melindungi dan mengakui hak masyarakat adat dan lokal. Ini menjadi bagian penting bagi Indonesia serta para pendamping (NGO) agar komitmen ini tetap diawasi serta di follow up terus. Indonesia juga tegas dalam hal ini, buktinya dalam pidato Presiden RI Joko Widodo pada COP26, Jokowi menanyakan komitmen dan kontribusi negara maju dalam mendukung kesepakatan ini, mulai dari transfer knowledge, teknologi hingga skema-skema lain untuk mendukung kesekapatan multi interest ini. [HN/BA]
Sumber :
https://penjagahutan.id
https://simposiumjai.ui.ac.id/wp-content/uploads/20/2020/03/1.06.pdf
http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/pages/lihat_berita/6
