[Bahtera Alam] Perayaan Tujuh Liku adalah tradisi turun temurun yang dilakukan oleh warga Suku Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat, Kabupaten Siak, Riau. Tradisi ini dilakukan rutin setiap tahun pada bulan Ramadhan. Perayaan Tujuh Liku bertujuan untuk memperkuat integrasi sosial.
Perayaan Tujuh Liku merupakan perayaan adat dan keagamaan pada komunitas Suku Asli di Riau di mana suku Asli Anak Rawa termasuk salah satu di dalamnya. Perayaan tersebut merupakan artikulasi penghormatan arwah nenek moyang yang telah meninggal. Bagi orang suku Asli Anak Rawa, acara Tujuh Liku dirayakan sebagai ungkapan syukur pada alam dan yang gaib atas keselamatan yang diberikan (Muhammad Ansor, M., Laila Sari Masyhur, L.S., 2023).
Perayaan Tujuh Liku menurut Suku Asli Anak Rawa konon berasal dari kisah tentang nenek moyang yang tersesat di dalam hutan, setelah berputar-putar dan berjalan cukup jauh, mereka akhirnya melihat setitik cahaya jauh di kegelapan malam. Mereka mengikuti arah cahaya atau pelita tersebut dan ternyata adalah lampu colok (cahaya api dari bahan bakar minyak tanah). Setelah dekat, akhirnya mereka menemukan sebuah pemukiman penduduk. Lampu colok tersebut dipasang oleh masyarakat Melayu sebagai tradisi dan perayaan rutin menjelang akhir bulan Ramadhan. Lampu colok dipasang oleh masyarakat Melayu di pemukiman mereka terutama di pinggir-pinggir jalan biasanya mulai memasuki malam ke-27 di bulan Ramadhan, mereka menyebutnya dengan perayaan Tujuh Liku.
Berlandaskan dari kisah tersebut, kemudian masyarakat dari Suku Asli Anak Rawa rutin memeriahkan tradisi Tujuh Liku setiap tahun (yang dilakukan pada malam ke-26 bulan Ramadhan hingga tiga hari ke depan) untuk mengenang leluhur mereka yang tersesat di hutan. Tradisi ini merupakan ungkapan tanda syukur dan permohonan keselamatan dan kesejahteraan. Dengan demikian perayaan Tujuh Liku oleh Suku Asli Anak Rawa mulai dilakukan sejak masuknya agama Islam di lingkungan mereka dan dianut oleh kebanyakan orang Melayu.
Malam tujuh liku dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, umumnya membuat makanan lalu diantarkan ke mesjid untuk dibacakan doa. Selanjutnya mereka beramai-ramai datang bersilaturahmi dari gerbang ke gerbang yang lain. Gerbang-gerbang ini dibentuk dari susunan pelita atau lampu colok dengan berbagai bentuk kreasi. Selain itu, warga juga menghantarkan makanan dan diletakkan di masing-masing gerbang beserta acara doa selamat. Bagi yang berkunjung akan disambut oleh penjaga gerbang, di setiap gerbang mereka bisa mencicipi makanan yang sudah disediakan. Tujuannya untuk mempererat silaturahmi, sebagai rasa syukur dan berbagi rezeki.
Secara umum, peran Perempuan Adat dalam perayaan tradisi adat Tujuh Liku berperan sebagai penjaga dan pelestari budaya dan adat istiadat suku mereka. Dalam tradisi ini, pihak perempuan mempersiapkan dan menghidangkan makanan atau kue tradisional. Pada beberapa momen di bulan itu, disertakan juga kesenian seperti menampilkan tarian tradisi dari Suku Asli Anak Rawa yang dibawakan oleh Perempuan Adat.
Uniknya, perayaan tradisi Tujuh Liku di Kampung Adat Penyengat dimeriahkan oleh semua lintas agama. Toleransi beragama yang diperlihatkan oleh masyarakat Suku Asli Anak Rawa cukup tinggi. Semua berbaur dalam kebersamaan tanpa ada perbedaan dan batasan kepercayaan yang dianut.
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ansor, M., Laila Sari Masyhur, L.S., (2023), bahwa pada dasarnya orang Suku Asli Anak Rawa merupakan individu-individu inklusif serta amat menghormati perbedaan agama. Demikian pula para elite agama di Kampung Adat Penyengat memiliki perhatian intensif dalam mengawal harmoni sosial pada masyarakat yang sedang berubah.
Kegiatan perayaan Tujuh Liku pada kampung adat Penyengat ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah ritual Tujuh Liku yang dilakukan oleh pemeluk agama kepercayaan yang melakukan tradisi tersebut dalam bentuk menyiapkan sesajian di depan rumah dengan ritual tertentu sesuai dengan tradisi pemeluk agama kepercayaan/penghayat. Lalu, yang kedua adalah perayaan Tujuh Liku dalam bentuk pertemuan kampung untuk acara makan bersama pada balai kampung di Penyengat. Acara kedua ini tidak diformat dalam ritual pemeluk agama kepercayaan, melainkan proses kegiatan umum yang agenda utamanya adalah makan bersama masyarakat dari warga lintas kepercayaan dan agama. Kegiatan ini biasanya menghadirkan pimpinan daerah setempat (Muhammad Ansor, M., Laila Sari Masyhur, L.S., 2023).
Pemeluk agama/kepercayaan yang melakukan tradisi membuat sesajian yang diletakkan di depan rumah saat kegiatan perayaan Tujuh Liku disebut dengan Nyange. Nyange dipercaya sebagai penyambutan kepada arwah leluhur yang berkunjung ke rumah. Mayoritas yang melakukan ritual Nyange adalah yang beragama Budha dan Konghuchu. Agama Islam dan Katolik tidak ikut dalam ritual ini.
[Sumber : Studi Dampak Hilangnya Akses Sumber Daya Alam Terhadap Perempuan Adat, Bahtera Alam – 2024]
7