BAHTERA ALAM – Di pesisir timur Provinsi Riau, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Meranti, terbentang ekosistem mangrove yang luas dan vital. Bukan hanya sebagai pelindung alami dari abrasi dan badai laut, hutan mangrove di wilayah ini juga menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan bagi Suku Akit — salah satu komunitas adat tertua di daerah pesisir Sumatra bagian timur.
Suku Akit dikenal sebagai masyarakat pesisir yang bergantung sepenuhnya pada kekayaan alam, terutama hutan bakau yang menghampar di sepanjang pantai, muara, dan aliran sungai. Hubungan mereka dengan mangrove bukan sekadar eksploitasi sumber daya, melainkan bentuk keterikatan kultural dan ekologis yang diwariskan turun-temurun.
Mangrove dalam Kehidupan Sehari-hari Suku Akit
- Pemanfaatan Kayu Mangrove
Salah satu bentuk utama pemanfaatan mangrove oleh Suku Akit adalah pengambilan kayu, khususnya dari jenis Rhizophora spp. yang dikenal kokoh dan padat. Kayu ini biasanya digunakan untuk:
- Bahan bakar: Dalam bentuk arang, banyak dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga atau dijual ke pengepul arang.
- Material bangunan: Seperti pancang rumah, cerocok, pelataran jemuran ikan dan pondok di sekitar muara.
- Kerajinan lokal: Kayu berdiameter kecil dimanfaatkan sebagai alat penangkap ikan atau kepiting.
Menariknya, penebangan kayu dilakukan dengan prinsip selektif dan beretika. Warga Akit hanya menebang pohon-pohon yang dianggap “matang”, meninggalkan pohon muda dan bibit untuk regenerasi. Mereka juga menerapkan teknik potong miring agar tidak merusak tanaman di sekitarnya. Ini merupakan bentuk nyata dari praktik konservasi berbasis kearifan lokal.
- Hasil Hutan Bukan Kayu
Selain kayunya, hutan mangrove juga menyimpan potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Beberapa bagian yang dimanfaatkan antara lain:
- Daun dan bunga bakau: Diolah menjadi sirup, kerupuk, dan bahan pakan ternak. Inovasi ini mulai berkembang melalui pendampingan berbagai pihak untuk meningkatkan nilai tambah.
- Buah mangrove: Di beberapa wilayah Riau, buah dari jenis Bruguiera, Sonneratia, dan Avicennia dimanfaatkan menjadi dodol, keripik, atau tepung. Meski di kalangan Suku Akit sendiri pemanfaatannya belum masif, namun potensi ini mulai dijajaki sebagai bagian dari diversifikasi ekonomi lokal.
Mangrove Sebagai Lumbung Pangan
Hutan mangrove adalah habitat alami berbagai jenis biota laut. Di sinilah Suku Akit mencari sumber protein harian:
- Ikan kecil dan besar ditangkap menggunakan jaring atau perangkap bambu.
- Kepiting bakau menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi, baik untuk konsumsi maupun dijual.
- Udang, siput, dan lokan dikumpulkan oleh perempuan dan anak-anak saat air surut.
Kegiatan ini tidak hanya sebagai cara bertahan hidup, tapi juga mencerminkan keseimbangan sosial-ekologis. Ada aturan tidak tertulis di masyarakat Akit yang melarang menangkap biota laut secara berlebihan, serta kepercayaan untuk melepas ikan-ikan kecil sebagai bentuk penghormatan kepada alam.
Silvofishery: Jalan Tengah Konservasi dan Ekonomi
Pola budidaya ramah lingkungan yang disebut silvofishery mulai diterapkan di sejumlah wilayah Meranti, termasuk oleh masyarakat Akit. Dalam sistem ini, tambak kepiting atau ikan dikelola di tengah hutan mangrove tanpa menebang pohon. Dengan cara ini, ekosistem tetap lestari dan masyarakat tetap mendapatkan penghasilan.
Program ini didorong oleh pemerintah bersama organisasi/lembaga lainnya dengan pendekatan perhutanan sosial. Melalui skema ini, komunitas adat seperti Suku Akit diberi hak kelola hutan mangrove secara legal, disertai pelatihan dan bantuan untuk mengembangkan produk turunan mangrove secara berkelanjutan.
Sayangnya, hubungan harmonis ini tidak tanpa tantangan. Keberadaan pabrik arang berskala besar di luar komunitas mengakibatkan eksploitasi berlebihan. Kayu mangrove ditebang dalam jumlah masif tanpa memperhatikan regenerasi, menyebabkan abrasi, kerusakan habitat, dan penurunan populasi biota laut.
Suku Akit, yang sebelumnya hidup cukup dari hasil laut dan hutan, kini terdesak. Upah mereka sebagai pemanen kayu atau pekerja arang pun sangat rendah, hanya sekitar Rp 13.000 per hari, sementara harga kayu dibeli murah oleh pengepul (sekitar Rp 150/kg). Ini mencerminkan ketimpangan distribusi manfaat yang harus segera diatasi melalui kebijakan adil dan berpihak pada masyarakat adat.
Di sisi lain, gelombang harapan muncul dari penguatan peran masyarakat adat dalam tata kelola hutan. Program perhutanan sosial, pendampingan pengolahan HHBK, dan edukasi konservasi berbasis komunitas menjadi langkah nyata yang dapat menjembatani kelestarian lingkungan dan kesejahteraan Suku Akit.
Mangrove bukan sekadar hutan bagi Suku Akit. Ia adalah rumah, sumber kehidupan, dan warisan leluhur. Di tengah perubahan zaman dan tekanan ekonomi, kearifan lokal mereka menjadi fondasi penting bagi upaya konservasi berkelanjutan. Melindungi mangrove berarti melindungi identitas, budaya, dan masa depan Suku Akit — sekaligus menjaga ekosistem penting bagi kita semua. [mom/BA]
