www.cakaplah.com – KETIKA mendengar istilah Masyarakat Hukum Adat, beragam pemahaman yang bisa disampaikan banyak pihak. Bukan tidak mungkin beberapa pihak diantaranya menganggap sebagai masyarakat yang masih tertinggal. Tentu saja masing-masing pihak berhak untuk memiliki persepsi dan kesimpulan yang berbeda. Padahal sejatinya masyarakat adat merupakan salah satu komponen masyarakat yang wajib mendapat penghormatan dan perlindungan dari negara. Secara konstitusi penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Namun hingga saat ini, undang-undang yang menjadi turunann masih sebatas rancangan undang-undang dan belum kunjung ditetapkan oleh DPR RI menjadi undang-undang
Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA berdasarkan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.
Definisi ini berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang mengartikan Masyarakat Hukum Adat sebagai Warga Negara Indonesia yang karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Namun demikian, Kementerian Dalam Negeri dalam menyusun Peraturan Menteri tersebut sudah mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B. Selain itu juga mengacu pada regulasi lain yang terkait seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan perubahanya dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dianggap banyak pihak menjadi suatu terobosan hukum dalam upaya pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Melalui Permendagri ini, menjadi kesempatan bagi masyarakat adat untuk megajukan hak pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di wilayah masing-masing. Permendagri ini juga menjadi panduan dan menjadi perhatian semua pihak termasuk pemerintah daerah. Melalui peraturan ini juga digambarkan secara jelas tahapan atau prosedur dalam proses pengakuan dan perlindungan mulai dari identifikasi, pengajuan dokumen, verifikasi, validasi hingga penetapan. Dalam permendagri ini juga tergambar jelas peran pemerintah daerah baik gubernur, bupati dan walikota.
Beberapa daerah di Indonesia sudah menerbitkan peraturan di daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Salah satunya adalah Provinsi Riau yang telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Daerah ini merupakan pedoman pemberian pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap hak-hak MHA dan kerifan lokal MHA dalam perlidungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perda ini sudah diturunkan petunjuk pelaksanaanya melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 9 Tahun 2023.
Pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini menjadi prioritas di daerah? khususnya di Provinsi Riau. Salah satu ukuran sederhana yang dapat dipakai adalah sudah berapa kelompok Masyarakat Hukum Adat yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah?. Menurut data yang dikumpulkan Perkumpulan Bahtera Alam dari berbagai pihak, terdapat potensi lebih dari 170 masyarakat adat di Provinsi Riau yang tersebar di berbagai kabupaten/kota dengan indikasi klaim wilayah adat lebih dari 249,087 hektar. Salah satunya adalah Suku Talang Mamak yang tersebar di Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir.
Masih berdasarkan data Perkumpulan Bahtera Alam yang merupakan salah satu NGO yang melakukan progam dan kegiatan fasilitasi pendampingan MHA, sudah terdapat 17 kelompok MHA di Provinsi Riau yang sudah mendapat pengakuan. Rincian dari jumlah tersebut terdapat 8 komunitas adat di Kabupaten Kampar, 8 komunitas adat di Kabupaten Siak. Terdapat 1 komunitas adat yaitu Suku Batin Sobanga yang berada di lintas kabupaten/kota yaitu Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Dumai. Pengakuan MHA pada komunitas adat Bathin Solapan diberikan Pemerintah Provinsi Riau melalui SK Gubernur Riau Nomor : Kpts.1183/VIII/2022 Tahun 2022.
Regulasi terbaru di tingkat kabupaten di Provinsi Riau yang sudah menerbitkan Peraturan Daerah adalah Kabupaten Kepulauan Meranti melalui Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Perda ini merupakan perda kabupaten pertama di Provinsi Riau yang judul perda secara jelas menyebutkan Masyarakat Hukum Adat. Oleh sebab masyarakat adat di Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Siak sudah bisa mengajukan untuk memperoleh pengakuan MHA dari pemerintah daerah karena sudah memiliki peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Melalui tulisan ini, penulis tidak menganalis lebih jauh tentang keberadaan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Penulis lebih tertarik untuk menghubungkan keberadaan dan pengakuan MHA dengan pemberian akses kelola penetapan Hutan Adat sebagai salah satu skema program Perhutanan Sosial (PS) Kementerian LHK. Karena menurut penulis pengakuan MHA akan lebih memiliki nilai strategis dan memiliki manfaat khususnya untuk masyarakat jika dapat diupayakan untuk diberikan akses kelola sumber daya alam disekitarnya seperti pengelolaan hutan. Gambaran seputar perhutanan sosial sudah penulis sampaikan dalam tulisan sebelumnya.
Sebelum lebih lanjut menganalisis akses kelola hutan melalui skema PS hutan adat, terlebih dahulu penulis sampaikan informasi seputar hutan adat. Berdasarkan regulasi yang ada, hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Hutan adat berasal dari hutan negara dan atau bukan hutan negara. Fungsi hutan adat adalah sebagai fungsi konservasi, lindung dan atau produksi. Pengelola hutan adat adalah MHA yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah.
MHA yang dapat diberikan persetujuan pengelolaan hutan adat adalah MHA yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah jika MHA berada dalam kawasan hutan negara atau ditetapkan dengan peraturan kepala daerah jika MHA berada di luar kawasan hutan negara. Kriteria penetapan hutan adat antara lain adalah arealnya berada dalam wilayah adat, merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan dikelola sesuai kearifan lokal MHA. Kriteria lainnya adalah berasal dari kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara dan masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh MHA di wilayah hutan disekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagaimana proses persetujuan Perhutanan Sosial skema lainnya, proses penetapan hutan adat dilakukan melalui permohonan yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan tembusan kepada pihak terkait di daerah termasuk kepala daerah. Proses selanjutnya akan mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan Kementerian LHK mulai dari penyiapan dokumen, pengajuan permohonan, validasi administrasi, verifikasi lapangan hingga penerbitan keputusan penetapan status hutan adat.
Situasi di Provinsi Riau dalam hal pengakuan MHA dan penetapan hutan adat belum banyak yang sudah berhasil ditetapkan. Contoh yang sudah ada antara lain inisiatif Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau melalui pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat Imbo Ayo Suku Sakai Bathin Sobanga. Pengakuan MHA dan penetapan hutan adat di Suku Sakai Bathin Sobanga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau karena wilayahnya berada di lintas kabupaten dan kota yaitu Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir dan Kota Dumai.
Pengakuan MHA dan penetapan hutan adat Suku Sakai Bathin Sobanga yang berada di lintas kabupaten dan kota merupakan yang pertama kali di Indonesia. Oleh sebab itu Gubernur Riau pada saat itu Syamsuar menjadi gubernur pertama di Indonesia yang memberikan secara langsung Surat Keputusan (SK) pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan penetapan hutan adat lintas kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, dan Kabupaten Rokan Hilir, dengan luas mencapai 207 hektar.
Selain hutan adat di Suku Sakai Bathin Sobanga, di Provinsi Riau juga sudah terdapat 2 (dua) penetapan hutan adat lainnya yang ditetapkan sejak tahun 2020, yaitu Hutan Adat Kenegerian Petapahan dengan luas 251 hektar dan Kenegerian Kampa dengan luas 157 hektar yang secara administrasi berada di Kabupaten Kampar. Bahkan prosesi penyerahan SK Pengakuan MHA Kanegerian Petapahan dan Kampa serta SK penetapan Hutan Adat Imbo Putui dan Ghimbo Bonca Lidah diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada pemangku adat pada tanggal 21 Februari 2020.
Pencapaian kelompok masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan MHA dan penetapan hutan adat menyebabkan kelompok masyarakat adat lain di Provinsi Riau berkeinginan melakukan hal yang sama. Jumlah MHA yang mendapat pengakuan dan jumlah penetapan hutan adat di Provinsi Riau sebenarnya bisa lebih dari apa yang sekarang sudah capai. Potensi lebih dari 170 kelompok masyarakat adat di Provinsi Riau yang tersebar di berbagai kabupaten dengan indikasi klaim wilayah adat lebih dari 249,087 hektar dapat ditindaklanjuti.
Salah satu kelompok masyarakat adat yang sudah mengajukan pengakuan MHA adalah masyarakat adat Suku Talang Mamak. Dokumen usulan sudah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Riau beberapa waktu lalu. Usulan tersebut sudah dalam bentuk dokumen yang sudah bisa diverifikasi lebih lanjut oleh Tim yang secara khusus dibentuk. Namun berdasarkan informasi yang penulis peroleh dokumen tersebut masih perlu penyempurnaan menyesuaikan dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku. Melalui proses pendampingan yang intensif terhadap masyarakat adat, penyempurnaan dokumen usulan dapat dilakukan. Namun yang paling penting yang juga patut didorong adalah kemauan politik atau political will pemerintah daerah yang mendukung proses pengakuan.
Kondisi ini menggambarkan adanya semangat kelompok masyarakat adat untuk mengajukan proses pengakuan MHA dan selanjutnya akan diteruskan penetapan hutan adat. Namun disisi lain perlu juga diikuti dengan sosialiasi yang utuh tentang proses ini khususnya ketentuan yang mengaturnya. Bahkan diperlukan pendampingan secara teknis terhadap masyarakat adat. Pendampingan ini tidak hanya sebatas penyusunan dokumen tetapi juga komunikasi dengan pihak terkait khususnya dengan pemerintah daerah.
Pertanyaan berikutnya adalah seberapa penting dan strategis upaya inisiasi pengakuan MHA dan penetapan hutan adat dalam konteks pemberdayaan masyarakat adat? Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa penetapan hutan adat menjadi penting dan strategis untuk MHA. Beberapa alasan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
Pertama, penetapan hutan adat bagi MHA yang sudah mendapat pengakuan menjadi pembuktian kepada para pihak yang ragu akan kemampuan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih baik. Karena tidak dapat dipungkiri terdapat anggapan yang tidak yakin akan kemampuan MHA dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Selain pembuktian juga sebagai tantangan bagi MHA untuk mempertahankan kearifan lokal yang sudah turun temurun diwariskan.
Kedua, dengan penetapan hutan adat diharapkan dapat melindungi kawasan hutan yang masih ada di wilayah adat. Perlindungan dimaksud tentu saja tidak hanya dari sisi konservasi tetapi juga dapat bermanfaat secara ekonomi. Kesejahteraan masyarakat adat dapat meningkat dengan adanya hak kelola hutan dengan tanpa mengabaikan kelestarianya. Selain itu, penetapan hutan adat dapat memberi kepastian pengelolaan hutan dan dapat menjadi solusi penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Komunitas MHA yang sudah memperoleh penetapan hutan adat menjadi lebih memiliki kepastian terhadap Kawasan hutan disekitarnya tanpa harus berselisih dengan pihak lain.
Ketiga, pengelolaan hutan dianggap banyak pihak masih belum melibatkan secara sungguh-sungguh masyarakat adat sebagai pihak pelaku utama atau subyek. Masyarakat adat cenderung masih menjadi objek dan tidak dilibatkan secara aktif. Melalui penetapan hutan adat diharapkan masyarakat adat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan hutan melalui kearifan lokal yang sudah turun temurun menjadi tradisi. Masyarakat adat dapat secara optimal mengelola kawasan hutan sebagai sumber penghidupan utama dengan tetap memperhatikan kelestarianya, seperti pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengembangan madu kelulut dan ekowisata berbasis adat.
Pengakuan MHA dan penetapan hutan adat diyakini menjadi salah satu cara negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain menjadi amanah konstitusi, proses ini menjadi bentuk keberpihakan dan kepercayaan kepada masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya khususnya hutan. Kepastian hukum pengelolaan hutan menjadi semakin jelas. Semoga.
Penulis : Hasan Supriyanto (Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Wilayah Riau)
Sumber : https://www.cakaplah.com/berita/baca/112920/2024/07/24/masyarakat-hukum-adat-dan-hutan-adat