Bahtera Alam, Selatpanjang – Kabupaten Kepulauan Meranti berada di Provinsi Riau, merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, khususnya hutan dan lahan gambut. Wilayah ini juga merupakan rumah bagi masyarakat adat khususnya Suku Akit, yang telah mendiami dan mengelola sumber daya alam tersebut secara turun temurun. Hutan bagi masyarakat adat bukan hanya sekedar sumber ekonomi, tetapi juga memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang mendalam.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan ekonomi yang pesat dan kebijakan pemerintah mengenai pemanfaatan lahan telah menarik perhatian perusahaan-perusahaan sektor kehutanan dan perkebunan untuk beroperasi di wilayah tersebut. Perusahaan-perusahaan ini diberikan izin konsesi untuk mengelola hutan dan lahan bagi kepentingan komersial.
Kehadiran mereka juga membawa sejumlah tantangan sosial, di antaranya konflik pemanfaatan lahan, degradasi lingkungan, dan ketegangan sosial. Demikian ujar Mu’ammar Hamidy, pelaksana kegiatan Pelatihan Negosiasi Parapihak yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Bahtera Alam di Selatpanjang pada Selasa, 30 Juli 2024.
“Pada konflik pemanfaatan lahan, sering timbul perbedaan klaim atas tanah antara perusahaan dan masyarakat adat. Masyarakat adat merasa hak tenurial mereka kurang terlindungi dan seringkali belum diakui secara formal oleh pemerintah. Perbedaan pandangan tentang pengelolaan dan penggunaan lahan antara perusahaan dan masyarakat adat menjadi salah satu penyebab utama dari tumpang tindih ini,” ungkap Mu’ammar membuka sesi pertemuan pada siang itu.
Aktivitas perusahaan tambahnya, terkadang berkontribusi pada perubahan lingkungan yang signifikan, seperti perubahan pada hutan, lahan gambut, dan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Hal ini dapat berdampak pada ekosistem lokal dan mata pencaharian masyarakat adat yang sangat bergantung pada keberlanjutan lingkungan mereka. Perubahan lingkungan ini juga memiliki potensi untuk mempengaruhi iklim lokal dan global.
Perbedaan pandangan tentang kepemilikan lahan dan perubahan lingkungan telah meningkatkan ketegangan sosial antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah. Konflik ini kadang-kadang berujung pada ketegangan dan ketidakstabilan sosial. Ketegangan ini dapat mempengaruhi stabilitas sosial-ekonomi di daerah tersebut dan menghambat upaya pembangunan yang berkelanjutan. Demikian katanya.
Pelatihan Negosiasi Parapihak ini diikuti oleh perwakilan Masyarakat Adat dari Suku Asli Anak Rawa Desa Penyengat Kabupaten Siak, serta Suku Akit dari Pulau Padang dan Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti. Utusan dari pemerintah kabupaten dihadiri oleh Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, dan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Pihak perusahaan juga mengirimkan perwakilannya yaitu dari Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Sumatra Riang Lestari (SRL).
Sebagai sebuah NGO yang aktif mendorong pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat, Perkumpulan Bahtera Alam (PBA) juga berkomitmen terhadap resolusi konflik. PBA menyadari betapa pentingnya kerjasama dan komunikasi yang efektif dalam membangun hubungan yang harmonis antara masyarakat khususnya adat, pemerintah, dan perusahaan. Demikian ujar Direktur eksekutif PBA, Harry Oktavian, dalam penyampaian materi pelatihan Negosiasi bagi Parapihak.
“Kegiatan pelatihan ini merupakan program dari Bahtera Alam dengan menggunakan dana independen. Pelatihan ini salah satunya bertujuan untuk mengembangkan kapasitas parapihak dalam meningkatkan kemampuan Bernegosiasi. Pelatihan ini melatih peserta dalam teknik-teknik negosiasi yang efektif untuk menyelesaikan konflik secara damai dan adil,” tutur Harry.
Dalam pelatihan, Harry Oktavian dan Marzuki, SH. dari PBA menjadi narasumber dan dimoderatori oleh Hasri Dinata. Sejumlah materi negosiasi disampaikan dalam pelatihan yang berlangsung selama dua hari itu, yakni pengenalan konflik dan resolusi konflik, analisa konflik, negosiasi, bentuk penyelesaian konflik, dan FPIC.
Penyelenggaraan pelatihan yang ditutup dengan simulasi penyelesaian konflik dan pemberian sertifikat pelatihan, diikuti oleh peserta dengan antusias dan mendapat apresiasi dari parapihak. (Mom/BA)
20