Bahtera Alam, Pekanbaru – Sejak tahun 2018 hingga 2024, upaya pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Provinsi Riau telah mengalami kemajuan yang signifikan. Hingga saat ini, sebanyak 17 komunitas adat telah memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Proses ini didukung oleh Perkumpulan Bahtera Alam bersama berbagai organisasi non-pemerintah serta pemerintah daerah di Kabupaten Kampar, Siak, Bengkalis, Rokan Hilir, Kota Dumai, dan Pemerintah Provinsi Riau.
Pengakuan terhadap MHA merupakan langkah penting dalam memastikan hak-hak adat tetap terjaga, termasuk hak atas tanah, kelembagaan adat, serta pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal.
Perkumpulan Bahtera Alam pada Kamis, 27 Februari 2025 di Pekanbaru, mengadakan diskusi yang bertajuk “Diskusi : Profil 17 MHA di Riau.” Diskusi ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman mengenai keberadaan, tantangan, dan strategi ke depan dalam perlindungan serta penguatan MHA di Riau.
Dalam diskusi tersebut, hadir beberapa perwakilan dari MHA dan perwakilan dari dinas/Intansi terkait yaitu Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.
Utusan dari MHA dihadiri oleh perwakilan Kampung Adat Sakai Minas, Kenegerian Kampa, Kenegerian Petapahan, Kenegerian Batu Songgan, dan Suku Sakai Sobanga. Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan narasumber yaitu Himyul Wahyudi dari AMAN Kampar dan Hasri Dinata dari Perkumpulan Bahtera Alam.
Dalam rangka memperkuat pemahaman dan dokumentasi terkait komunitas-komunitas adat, Perkumpulan Bahtera Alam bersempena pada acara diskusi, juga me-launching sebuah buku yang memuat profil dari 17 MHA yang telah diakui. Buku ini berisi informasi mengenai sejarah, wilayah adat, kelembagaan adat, aturan hukum adat, serta pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan oleh masing-masing komunitas adat.
Pada kesempatan diskusi tersebut, Datuk Khalifah Luhak Batu Sanggan, Suparmantono, mengatakan bahwa sejarah MHA yang ada di Kampar Kiri Hulu saat ini sudah mulai banyak di tulis oleh kawan-kawan NGO yang fokus pada isu MHA.
“Jika tidak ada yang menulis profil tersebut, banyak informasi yang sudah hilang dari para tetua yang ada saat ini,” ungkapnya.
Datuk Khalifah mengatakan, daerah Rantau Kampar Kiri Hulu khususnya wilayah Luhak Kekhalifahan batu Songgan berada dalam kawasan Suaka Marga Satwa, dan mereka sangat butuh perhatian dari pemerintah untuk menyikapi masalah kenegerian ini yang masuk dalam kawasan Suaka Marga Satwa.
Menurut salah seorang perwakilan dari Dinas LHK Provinsi Riau, buku profil 17 MHA ini adalah sangat penting untuk Perhutanan Sosial ke depannya, salah satunya pada Skema Hutan Adat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian menyebutkan bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, dan perlu mendapatkan masukan dan perspektif dari berbagai pihak, termasuk komunitas adat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah terkait isi buku, sehingga dapat memperkaya substansi buku sebelum benar-benar resmi diterbitkan.
“Terbitnya buku Profil 17 MHA di Riau, bisa menjadi referensi dan sebagai dokumen yang dapat digunakan oleh komunitas adat, pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas,” tutupnya.
Di akhir acara, dilakukan penyerahan buku profil 17 MHA Riau yang diwakili oleh Khalifah Luhak Batu Sanggan kepada Dinas PMD Provinsi Riau yang disaksikan oleh DLHK Provinsi Riau dan Perkumpulan Bahtera alam. [mom/BA]
