Bahtera Alam, Pekanbaru – Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk diakui dan dilindungi, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktiknya, pengakuan dan perlindungan MHA di tingkat daerah masih menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal pemahaman yang mendalam mengenai konsep MHA dan mekanisme pengakuannya.
Di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau, panitia MHA telah dibentuk oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari upaya mendorong proses pengakuan dan perlindungan MHA. Namun, banyak dari anggota panitia yang masih minim pengetahuan mengenai peran dan tanggung jawab mereka, serta bagaimana memahami dan memfasilitasi pengakuan MHA secara efektif. Hal ini diperparah dengan masih kurangnya kapasitas dari dinas atau instansi terkait dalam memahami aspek hukum, sosial, dan administratif terkait MHA.
Sebagai langkah untuk meningkatkan kapasitas Panitia MHA dan instansi terkait, Perkumpulan Bahtera Alam (BA) menginisiasi kegiatan Zoom Meeting dengan tema Efektivitas Peran Panitia Masyarakat Hukum Adat dalam Memahami dan Memfasilitasi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten/Kota Provinsi Riau. Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang memiliki keahlian di bidang MHA untuk memberikan bimbingan dalam bentuk coaching clinic kepada peserta, khususnya panitia MHA yang ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota.
“Pertemuan ini memang kami menggagas bersama YMKL (Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari) yang base-nya ada di Jakarta, jadi ini satu bentuk networking, jadi BA dan YMKL bekerja untuk isu hak masyarakat adat,” kata Direktur Bahtera Alam Harry Oktavian saat memberikan pengantar dalam kegiatan zoom meeting pada Rabu, 4 Juni 2025 di Pekanbaru.
YMKL lebih banyak bekerja di beberapa wilayah Indonesia, ada di Kalimantan, Papua, dan di Sumatera. Bahtera Alam lebih fokus bekerja di wilayah Riau. BA bersama-sama dengan YMKL dalam pertemuan zoom meeting ini ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana mendorong kebijakan terkait dengan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di Indonesia khususnya di Riau. Demikian ujar Harry.
Setelah pengantar dari Harry, Zulkifli Mangkau dari YMKL yang bertindak sebagai moderator kemudian menjelaskan bahwa pertemuan pada sesi utama akan menghadirkan narasumber yang memiliki keahlian di bidang MHA dan pada sesi akhir akan diberikan ruang kepada peserta untuk tanya jawab.
“Kontribusi Bapak Ibu dan partisipasi aktif dalam zoom meeting ini sangat penting dalam memperkuat pemahaman bersama serta mendorong upaya percepatan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Riau,” ujar Zulkifli.
Materi yang disampaikan oleh Asep Yunan Firdaus, S.H,. M.H. dalam zoom meeting yang dimulai pada pagi tersebut berjudul ‘Peraturan dan Penerapan Pengakuan MHA dan Hutan Adat,’ dan kegiatan zoom meeting ini dihadiri oleh sejumlah utusan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Siak, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Kampar, Indragiri Hulu, Pelalawan, Kepulauan Riau-Lingga, dan Kota Pekanbaru. Hadir pula perwakilan dari Lembaga Adat Melayu Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hulu. Turut serta hadir perwakilan NGO dari AMAN Kampar dan Indragiri Hulu.
Asep Yunan Firdaus sebagai narasumber adalah seorang advokat lulusan sarjana hukum dari Universitas Diponegoro, dan memperoleh magister hukum dari Universitas Indonesia. Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di universitas Brawijaya. Asep selain advokat aktif sejak 2001, ia dikenal sebagai seorang mediator bersertifikat Mahkamah Agung tahun 2020, trainer dan fasilitator, dosen di Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta, dan Direktur Epistema Institute (2017 – sekarang). Asep banyak menulis publikasi, modul, dan buku terkait perhutanan sosial, penanganan dan mediasi konflik, negosiasi, dan paralegal. [mom/BA]
