Hutan Adat di Indonesia dan Eksistensinya dalam Konteks Hukum, Masyarakat Sebagai Pelaku Utama

Posted By admin on Sep 25, 2024


Liputan6.com, Jakarta – Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat adat di Indonesia. Hutan ini memiliki nilai penting secara ekologi, sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu ciri khas dari hutan adat di Indonesia adalah bahwa hutan ini tidak boleh diperjualbelikan dan dipindahtangankan kepada pihak lain.

Undang-undang yang terkait dengan hutan adat di Indonesia adalah UU Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang memberikan pengakuan legal terhadap hutan adat, sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat adat. Salah satu contoh hutan adat di Indonesia adalah Hutan Adat Kampar di Provinsi Riau. Hutan ini merupakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Selain itu, Hutan Adat Loksado di Kalimantan Selatan juga menjadi contoh, tentang pentingnya hutan adat sebagai penyangga kehidupan masyarakat adat. Hutan adat merupakan aset yang sangat berharga dan perlu dilindungi serta dikelola dengan baik. Pengakuan dan perlindungan hutan adat di Indonesia memiliki peran yang penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem hutan, keberagaman hayati dan memperkokoh identitas budaya masyarakat adat.

Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat adat dan LSM, dalam menjaga dan mengelola hutan adat ini dengan baik. Berikut ini kawasan Hutan Adat di Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (3/6/2024).

Sekilas Tentang Kawasan Hutan Adat

Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bagi mereka, hutan memiliki setidaknya dua fungsi utama. Pertama, sumber daya hutan, baik yang berupa kayu maupun non-kayu, memberikan manfaat besar dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, kawasan hutan sangat cocok dijadikan lahan pertanian, baik untuk pertanian pangan maupun perkebunan.

Pengurus kelompok Hutan Adat Guguk, Anshori, melintasi jembatan gantung menuju hutan adat.

Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan hutan, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan, telah berlangsung sejak lama. Hutan memiliki makna khusus bagi masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya hutan. Ketergantungan ini melahirkan berbagai cara pengelolaan hutan yang berbeda di kalangan masyarakat pedesaan.

Secara umum, pengelolaan hutan di masyarakat pedesaan dapat dibedakan menjadi dua sifat utama: eksploitatif dan konservatif.

Pengelolaan Eksploitatif

Pengelolaan eksploitatif adalah tindakan memanfaatkan hasil hutan dengan mengeksploitasi sumber daya hutan, baik berupa kayu, non-kayu, maupun lahan untuk pengembangan aktivitas produksi pertanian. Cara pemanfaatan ini seringkali mengubah fungsi ekosistem hutan karena mengurangi komponen-komponen penting dari ekosistem tersebut. Pendekatan ini didasari oleh pandangan bahwa hutan hanya bernilai dari sisi ekonomi dan sumber daya hutan dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai nilai material.

Pengelolaan Konservatif

Pengelolaan konservatif dibagi menjadi dua kategori: perlindungan serta perlindungan dan pemanfaatan.

a. Perlindungan: Ini adalah tindakan proteksi untuk mempertahankan kelestarian hutan, seperti dalam  bentuk “hutan larangan” atau “hutan adat.” Pengelolaan ini hanya melibatkan aktivitas perlindungan tanpa pemanfaatan langsung. Masyarakat pedesaan melakukan ini untuk melindungi hutan yang berfungsi sebagai penopang aktivitas produksi mereka, seperti mempertahankan sumber air bagi pengairan sawah.
b. Perlindungan dan Pemanfaatan: Dalam kategori ini, kawasan hutan diproteksi namun sumber daya di dalamnya, baik kayu maupun non-kayu, dapat dimanfaatkan secara terbatas tanpa mengubah fungsi hutan. Cara ini sering dijumpai dalam pengelolaan hutan adat, di mana sumber daya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial, kecuali untuk kebutuhan desa atau kebutuhan bersama seperti pengadaan fasilitas umum.

Sebelum masa penjajahan Belanda, pengelolaan hutan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas masyarakat hukum adat. Hukum adat, atau “Adatrecht” dalam bahasa Belanda, pertama kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje dan kemudian digunakan oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis. Konsepsi hutan dalam hukum lokal mencerminkan falsafah hidup, bahwa semua jenis makhluk hidup dalam hutan, termasuk tumbuhan, binatang dan bahkan makhluk ghaib, memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam menjaga keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam. Hukum lokal komunitas adat menempatkan status kepemilikan hutan, sebagai hak milik komunal setiap masyarakat hukum adat. Konsep ini menempatkan tanah sebagai pusat kehidupan dan penghidupan manusia. Ter Haar mendeskripsikan tanah sebagai tempat berdiam, sumber penghidupan, tempat dimakamkannya leluhur, serta kediaman makhluk halus dan arwah leluhur. Pertalian mendalam antara manusia dan tanah dalam pikiran masyarakat adat dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking), yang mendefinisikan hubungan umat manusia dengan tanah secara holistik dan integral.

Eksistensi Hutan Adat dalam Konteks Hukum Indonesia

Hutan Adat merupakan salah satu aspek penting dari hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Indonesia. Konsep ini mencerminkan jaminan hak-hak tersebut yang diakui secara hukum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa negara wajib mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA, serta hak-hak tradisional mereka selama sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hutan Adat secara substansial, merujuk kepada kawasan hutan yang terletak di dalam wilayah yang dihuni oleh MHA. Sebagai hutan hak, status hukumnya diatur dalam UU Kehutanan dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Putusan ini menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah bagian dari hutan negara, melainkan merupakan milik hak yang diakui secara sah oleh MHA.

Tidak ada salahnya jika pemerintah menetapkan Hutan Lindung dalam Kawasan Hutan Adat.

Perubahan paradigma pasca Putusan MK 35/2012 menjadi titik balik penting. Sebelumnya, Hutan Adat dianggap sebagai bagian dari hutan negara yang dikelola oleh MHA atas izin pemerintah. Namun, dengan putusan tersebut, MHA diakui sebagai pemilik sah Hutan Adat, bukan sekadar pengelola yang memperoleh izin dari negara. Implikasi pengakuan Hutan Adat sangat mendalam, di mana tidak hanya menyentuh perubahan status hukum semata, tetapi juga memberikan landasan yang lebih kuat bagi MHA atas hak-hak tradisional mereka. Mereka tidak lagi dianggap sebagai pengelola hutan yang tunduk pada izin negara, melainkan sebagai pemilik yang memiliki hak penuh atas hutan adat mereka.

Dalam pengelolaan Hutan Adat, MHA memiliki peran sentral. Mereka bertindak sebagai pemilik dan pengelola utama, menjaga fungsi konservasi, lindung, dan produksi hutan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Ini sejalan dengan konsep Sistem Pengelolaan Perhutanan Sosial di mana masyarakat menjadi pelaku utama dalam mencapai kesejahteraan dan kelestarian hutan.

Contoh Hutan Adat di Indonesia

Suku Tengger Desa Ngadas
Di tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), masyarakat suku Tengger di desa Ngadas memiliki sistem yang menarik dalam menjaga keberlangsungan hutan. Mereka telah mengembangkan ketentuan adat yang khas terkait dengan penebangan pohon non-komersial di kawasan tersebut. Menurut kearifan lokal mereka, setiap orang yang ingin menebang lima batang pohon tersebut diwajibkan untuk memberikan kontribusi yang berharga bagi lingkungan. Mereka harus menyumbangkan 50 sak semen sebagai simbolisasi kesuburan dan keberlanjutan, dan menanam 300 batang pohon cemara sebagai upaya restorasi lingkungan di bekas lokasi tebangan. Praktik ini mencerminkan pendekatan holistik dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana setiap tindakan manusia diharapkan untuk sejalan dengan keberlangsungan alam sekitar.

Seorang nelayan melintas di bawah jembatan Hutan Adat Guguk, Desa Guguk, Kabupaten Merangin, Jambi, (3/4/2021). Dibutuhkan solusi yang permanen untuk menghentikan aktivitas tambang emas liar yang menjarah kawasna hutan di Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Masyarakat Desa Jaring Halus, Secanggang, Langkat, Sumatera Utara
Di wilayah Sumatera Utara, khususnya di Desa Jaring Halus, masyarakat setempat telah lama menjalankan praktik pengelolaan hutan mangrove berbasis kearifan lokal. Mereka memperbolehkan penggunaan kayu mati untuk keperluan seperti kayu bakar dan bahan bangunan non-komersial, sementara melarang keras pengambilan kayu mangrove untuk tujuan komersial. Ketentuan ini tidak hanya mengatur penggunaan sumber daya alam secara bijaksana, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap ekosistem mangrove yang rentan terhadap eksploitasi yang berlebihan. Dengan demikian, masyarakat setempat mempraktikkan konsep keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam budaya dan tradisi lokal mereka.

Suku Dayak Merap dan Suku Dayak Punan, Kalimantan Timur
Di wilayah Kalimantan Timur, suku Dayak Merap dan Punan menjalankan sistem pengelolaan hutan yang berbasis pada aturan adat mereka sendiri. Masyarakatnya dilarang untuk berladang atau mengambil sumber daya alam tertentu di tempat-tempat tertentu, untuk memastikan keberlanjutan hutan. Selain itu, ada larangan terhadap pemilihan binatang dan tumbuhan tertentu karena memiliki peran penting dalam ekosistem lokal. Larangan seperti menebang pohon menggris karena merupakan sarang lebah, atau menebang pohon ulin karena buahnya merupakan makanan favorit landak mencerminkan pemahaman mendalam akan pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Oleh : Silvia Estefina Subitmele
Sumber : https://www.liputan6.com/hot/read/5610664/hutan-adat-di-indonesia-dan-eksistensinya-dalam-konteks-hukum-masyarakat-sebagai-pelaku-utama

6

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *