Bahtera Alam, Selatpanjang – Suku Akit disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat, karena di dalam Undang Undang Dasar 1945 sudah ada. Pada Pasal 18b Ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Masyarakat adat memiliki ikatan asal usul, sejarah dari leluhur, nilai-nilai serta norma adat, aturan adat, dan sebagainya, dan mereka memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungannya, baik di sungai, laut, hutan, dan lainnya. Bahkan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang luas seperti mengenal tanaman obat, manfaat hasil hutan bukan kayu, menjaga keberagaman hayati di hutan, termasuk hewan-hewan yang hidup di dalamnya secara kearifan lokal.
“Ini gak ada sekolahnya, sekolah mereka (Masyarakat Adat) memang di alam itu sendiri,” terang Direktur Bahtera Alam, Harry Oktavian di depan perwakilan Masyarakat Adat Suku Akit dan perwakilan dari perusahaan RAPP di Selatpanjang.
Dalam UUD 1945 menyebutkan negara mengakui dan menghormati Masyarakat Hukum Adat (MHA), sementara secara awam ada pula menyebutkannya sebagai Masyarakat Adat saja tanpa menggunakan kata Hukum. Menurut Harry, penyebutan baiknya mengacu pada undang-undang, karena negara Indonesia adalah negara hukum, dan pihak perusahaan juga menggunakan kata-kata Masyarakat Hukum Adat.
Pada Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 111 Tahun 1999, MHA ini disebut sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT), dan penamaan ini masih digunakan oleh Kementerian Sosial. Penggunaan istilah “komunitas adat terpencil” untuk menyebut Masyarakat Hukum Adat sering muncul karena berbagai faktor sosial, geografis, dan historis.
“Penamaan ini sesungguhnya kurang tepat, Masyarakat Adat ya tetap sebagai Masyarakat Adat, jangan karena wilayah mereka susah diakses kemudian disebut terpencil, dan yang menilai terpencil itu kan orang yang yang jauh dari masyarakat adatnya,” jelas Harry saat menyampaikan materi Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Riau pada Selasa, 27 Agustus 2024.
Pertemuan yang bertajuk Dialog Masyarakat Adat dan Perusahaan HTI terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kepulauan Meranti ini digelar di ruang pertemuan Hotel Red-9 Kota Selatpanjang selama dua hari pada 27 – 28 Agustus 2204. Selain menghadirkan perwakilan Masyarakat Hukum Adat Suku Akit, juga hadir perwakilan Masyarakat Hukum Adat Suku Asli Anak Rawa dari Kampung Penyengat Kabupaten Siak. Perwakilan perusahaan PT. RAPP dan PT. SRL juga ikut serta dalam pertemuan tersebut, Susilo Sudarman (Stakeholder Relation Manager RAPP untuk Meranti) juga berpartisipasi sebagai narasumber dengan mempresentasikan materi Dialog Pengelolaan Sumber Daya alam.
Ahmad Fauzi, SH selaku praktisi hukum dari LBH Pekanbaru, dalam kesempatan yang sama, juga menyampaikan perihal Perlindungan Hukum Masyarakat Adat. Dalam penyampaiannya, Ahmad Fauzi menjelaskan soal penyelesaian konflik yang memiliki dua pilihan utama dalam menyelesaikannya, yaitu lewat jalur pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Jalur di luar pengadilan merupakan pilihan yang paling efektif karena melalui proses mediasi dan negosiasi.
“Jika di pengadilan, waktunya cukup lama, sekali sidang itu mau sampai satu tahun dan biasanya itu kalau sampai kasasi bisa sampai dua tahun hingga tiga tahun, dan belum lagi eksekusinya. Ini (mediasi, negosiasi) salah satu alternatif yang sangat baik dalam penyelesaian sengketa,” ungkap Ahmad Fauzi.
Menurutnya, sangat penting untuk mendokumentasikan kasus. Misalnya jika ada persoalan lahan antara masyarakat dan perusahaan, kemudian tiba-tiba pihak perusahaan menurunkan buldozer di lahan yang bersengketa, masyarakat wajib memvideokan sebagai salah satu bukti dalam penyelesaian konflik.
Salah Satu Program RAPP Mendukung Masyarakat Lokal
Filosofi 5C PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) adalah: Country (negara), Climate (iklim, lingkungan), Customer (pelanggan, mitra) Company (perusahaan), Community (masyarakat sosial). PT RAPP adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembuatan pulp dan kertas. Perusahaan ini merupakan unit bisnis dari APRIL Group yang didirikan oleh Sukanto Tanoto pada tahun 1992.
“PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) merupakan perusahaan yang menjalankan Filosofi Bisnis 5C yaitu baik untuk masyarakat, negara, iklim, pelanggan, dan perusahaan. Filosofi ini didasarkan pada keyakinan bahwa operasi perusahaan harus memberikan manfaat bagi masyarakat, negara, iklim, dan pelanggan,” Demikian kata Susilo Sudarman, Stakeholder Relation Manager RAPP untuk Meranti.
Ketika perusahaan diberi izin oleh pemerintah dan mengelola kawasan untuk ditanami akasia, mesti akan ada muncul berbagai masalah. Ketika dalam menyelesaikan masalah lewat dialog/diskusi tidak selesai, maka keluhan bisa disampaikan lewat Grievance (pengaduan resmi atas keluhan yang disampaikan kepada pihak perusahaan). Cara ini juga merupakan dorongan dari NGO yang banyak mengembangkan standard operational procedures (SOP) grievance ini. Jika memang ada masalah terkait dengan mata pencaharian dan ada yang mungkin dilanggar oleh RAPP segala macam, bisa disampaikan ke grievance tadi.
“Jadi kita memang benar-benar ingin membuat paket kita lebih bersih, kita masih punya hutang atau kita masih punya salah ataupun kekeliruan di masa lalu, itu yang kita selesaikan. Walaupun itu tidak semata-mata dari kita sengaja, bukan, tetapi memang regulasi memaksa seperti itu, yang penting kita RAPP sudah punya niat baik, kita minta dukungan dari masyarakat untuk bagaimana yang namanya remedi sosial, ataupun meminta maaf secara sosial, itu bisa kita maafkan,” ujar Susilo.
Pengakuan MHA Suku Akit di Kepulauan Meranti sedang Berproses
Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki perda meranti no 1 tahun 2023, tentang pengakuan dan perlindungan MHA, nah ini satu-satunya di riau, kabupaten yang punya perda. nah tinggal ini informasi terakhir pemerintah daerah sudah menyiapkan panitia MHAnya, jadi nanti akan ada proses pengakuan bagi MHA di kepulauan meranti.
Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki Peraturan Daerah (Perda) No.1 Tahun 2023 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ini merupakan Perda kabupaten pertama di Riau untuk perlindungan dan pangakuan Masyarakat Adat. Informasi terakhir, pemerintah kabupaten pun telah menyiapkan panitia Masyarakat Hukum Adatnya, ini merupakan langkah untuk mewadahi proses pengakuan bagi Masyarakat Hukum Adat di kepulauan meranti.
“panitia MHA-nya itu terdiri dari berbagai organisasi, dari OPD dari dinas-dinas, bahkan kemaren ternyata kami juga Bahtera Alam dimasukkan ke dalam panitia, di-SK kan oleh bupati. mudah-mudahan kami bisa berkontribusi mengajak teman-teman pemerintah daerah melakukan proses pengakuan di Masyarakat Adat di kepulauan meranti,” ungkap Harry.
Mudah-mudahan tahun depan, pengakuan MHA ini bisa berproses karena tahun ini adalah tahun politik, ada perhatian dari dewan atau bupati, tahun depan mudah-mudahan sudah ada bupati definitif yang bisa menggesa dan mendorong tahapan pengakuan. Demikian tutup Harry. [Mom-BA]
12