Habib dan Kisah Pohon Kulim di Hutan Adat Imbo Putui

Posted By admin on Nov 4, 2024


Bahtera Alam – Di sebuah pagi yang tenang di Kenegerian Petapahan, Habib berdiri di tepi Hutan Adat Imbo Putui. Matanya menyapu hijau lebat pohon-pohon tua yang menjulang, dengan batang kokoh dan dedaunan lebat. Di sinilah ia tumbuh, di bawah naungan pohon-pohon ini, menyerap kearifan yang diwariskan leluhurnya. Sebagai salah satu pemuda adat, Habib memiliki tanggung jawab besar—menjaga dan mengelola hutan adat yang menjadi nadi kehidupan komunitasnya.

“Pohon ini,” ujar Habib sambil menunjuk salah satu pohon besar dengan daun hijau tua, “namanya kulim. Orang sini sering menyebutnya bawang hutan.” Ia mendekat, mengusap batangnya yang kasar. “Buahnya kecil, tapi manfaatnya luar biasa. Kami pakai sebagai bumbu masakan, pengganti bawang putih. Rasanya? Khas banget, dan aromanya tajam.”

Habib lalu memungut buah kulim yang jatuh di tanah. Kulitnya keras, bentuknya sederhana, tapi siapa sangka di balik itu tersembunyi rasa dan nilai tradisi yang kaya. “Buah ini bukan cuma soal rasa,” lanjut Habib, “ini simbol dari hubungan kita dengan hutan. Di dapur, buah kulim ini membawa cerita tentang pohon yang hidup di sini, tentang kearifan adat yang menjaga harmoni alam.”

Habib bercerita, di Hutan Adat Imbo Putui, kulim bukan satu-satunya kekayaan. Ada kempas, pasak bumi, trembesi, dan puluhan jenis pohon lainnya. Namun, kulim punya tempat istimewa. “Pohon ini bukan cuma pohon biasa,” katanya dengan senyum tipis. “Pada 2017, pohon kulim di sini dapat sertifikasi dari Balai Benih. Itu artinya, bibit dari pohon ini diakui penting untuk dilestarikan.”

Bagi Habib, pohon kulim adalah jantung dari kebudayaan mereka. Dia dan teman-temannya di Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) membangun kebun pembibitan alami untuk anakan kulim. “Kami tanam dari benih, kami rawat, supaya generasi nanti masih bisa lihat kulim, bahkan manfaatkannya. Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi tentang menjaga hubungan dengan tanah ini.”

Sambil berjalan lebih jauh ke dalam hutan, Habib mengajak kita mendekat ke pohon kulim yang lebih besar. “Dulu, nenek saya sering masak pakai buah ini,” katanya. “Dia bilang, sambal dari buah kulim rasanya lebih sedap. Sekarang, masakan tradisional seperti Sambal Bakacau khas Kenegerian Batu Songgan masih pakai kulim.”

Namun, buah kulim tak hanya berhenti di dapur. Habib menunjukkan beberapa buah kulim yang sudah diubah menjadi gasing mungil oleh anak-anak desa. “Anak-anak sering main gasing dari buah ini. Bahkan kami buat jadi cendera mata. Wisatawan yang datang ke sini suka sekali. Mereka bilang, ‘Buah kecil ini ternyata punya cerita besar.’”

Habib, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Imbo Putui

Habib mengingatkan, hutan adat adalah sumber kehidupan. Namun, tak jarang ada yang mencoba merusak harmoni ini. Ia menceritakan sebuah kejadian pada akhir 2020, saat para pemuda adat menangkap seseorang yang mencuri buah kulim tanpa izin. “Kami tak bisa diam,” katanya tegas. “Pelaku dikenai sanksi adat, bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan. Buah kulim itu milik hutan dan adat, bukan untuk diambil sembarangan.”

Di penghujung cerita, Habib berhenti di bawah pohon kulim yang rindang. “Hutan ini adalah rumah kita,” ujarnya dengan mata berbinar. “Kulim, pohon-pohon lain, hewan yang hidup di sini—semua saling terkait. Kalau satu hilang, keseimbangan akan rusak. Itu sebabnya kami terus berusaha menjaga, mengembangkan, dan menghidupkan kembali yang hampir punah.”

Bagi Habib, hutan adat bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan warisan yang harus terus hidup. Dan di tengah hutan ini, pohon kulim berdiri sebagai pengingat, bahwa dengan menjaga alam, kita juga menjaga cerita, tradisi, dan masa depan generasi berikutnya. (mom/BA)

 

19

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *