Dialog Implementasi Kebijakan FSC, Menelusuri Konflik Lahan Perusahaan dengan Masyarakat Adat

Posted By admin on May 7, 2025


HALUANRIAU.CO. (RENGAT) – Berbagai aspirasi di suarakan masyarakat dalam agenda Dialog Pemangku Kepentingan Terhadap Implementasi Kebijakan FSC (Forest Stewardship Council) di Kabupaten Indragiri Hulu.

Agenda ini ditaja oleh PT Patala Unggung Gesang di aula kantor Bappeda Inhu, Selasa (6/5) yang dihadiri dari berbagai lini kelompok masyarakat.

Ada beberapa narasumber dihadirkan dalam dialog ini di antaranya Ketua DPRD Inhu Sabtu Pradansyah Sinurat, Repesentatif FSC Indonesia Ir Hartono, Akademisi Indra Safri, Pimpinan Daerah AMAN Gilung, Wakil Koordinator Jikalahari Arpyan Sargita.

Kebijakan FSC merupakan serangkaian prinsip dan standar yang digunakan untuk memastikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

FSC menawarkan sertifikasi bagi produk kayu dan produk terkait yang berasal dari hutan yang dikelola sesuai dengan standar mereka. Sertifikasi ini memastikan bahwa produk tersebut tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memenuhi standar sosial dan ekonomi yang ditetapkan oleh FSC.

Di Kabupaten Inhu ini memiliki sejumlah besar berdiri perusahaan yang bersinggungan langsung dengan pemanfaatan lahan kawasan hutan.

Di dalam dialog ini, terungkap adanya beberapa perusahaan belum memiliki batas wilayah baik itu dengan kawasan hutan hingga dengan hutan kawasan adat.

Situasi Dialog Pemangku Kepentingan Terhadap Implementasi Kebijakan FSC di Inhi yang berlangsung di aula Bappeda Inhu, Selasa (6/5).(Mal/HRC)

Seperti yang diutarakan oleh PD AMAN Riau Gilung masih adanya ketidakjelasan batas wilayah perusahaan dengan masyarakat adat Talang Mamak.

Di antaranya di Talang Durian Cacar, Talang Pring Jaya, Talang Tujuh Buah Tangga. Di tiga wilayah adat ini masyarakat belum merasakan kontribusi dari hasil hutan yang dikelola oleh perusahaan.

“Permasalahan terhadap masyarakat adat ini diharapkan menjadi agenda prioritas dalam implementasi kebijakan FSC ini. Masyarakat adat perlu mendapat pengakuan hak atas wilayah termasuk hutan dan hasil hutan,” tegasnya dalam pemaparan.

Disisi lain, Ketua DPRD Kabupaten Indragiri Hulu, Sabtu Pradansyah Sinurat, mendorong pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan segera membentuk tim terpadu untuk menelusuri batas lahan konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang kerap menjadi sumber konflik dengan masyarakat adat.

“Diperlukan langkah nyata, salah satunya dengan pembentukan tim untuk survei lokasi konsesi secara langsung agar penyelesaian konflik tapal batas bisa segera dilakukan,” kata Sabtu.

Ia juga menekankan pentingnya percepatan pembentukan Peraturan Daerah Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) tentang pengakuan hutan adat atau tanah ulayat, khususnya bagi desa yang memiliki Lembaga Adat Desa (LAD) dan bergantung pada hasil hutan.

Selain itu, perusahaan juga dinilai belum maksimal dalam kontribusi sosial melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR), serta kurang berperan dalam pembangunan infrastruktur, khususnya jalan yang digunakan untuk operasional perusahaan.

Sementara itu, Direktur PT Patala Unggul Gesang Nazir Foead menyatakan bahwa isu masyarakat adat di Inhu menjadi tantangan tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Ia menilai konflik yang terjadi sudah cukup dalam, namun tetap harus dicari solusi terbaik bagi semua pihak.

“Isu masyarakat adat di sini sangat kuat. Kita tidak bisa memungkiri konflik yang sudah terjadi cukup dalam. Tapi tetap harus dicoba untuk dicarikan solusi terbaik,” ujarnya.

Nazir Foead menyebut rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan menjadi hambatan utama dalam dialog. Ia mendorong perusahaan untuk lebih terbuka dan mendengarkan keluhan masyarakat yang selama ini belum mendapat penyelesaian.

“Mungkin masyarakat sudah bosan karena tidak ada perubahan. Tapi tetap, mereka harus diberi ruang menyampaikan unek-uneknya,” katanya.

Di waktu yang sama, Akademisi Prof. Dr. Ashaluddin Jalil menilai proses remediasi terhadap konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat harus dilakukan secara menyeluruh, melalui sosialisasi, edukasi, serta pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan.

“Antusiasme masyarakat agar konflik diselesaikan itu tinggi. Apalagi jika bicara investasi, tentu tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi jika berdampak pada konflik, maka ini harus dirapikan bersama,” kata Ashaluddin.

Ia menekankan bahwa proses remediasi dan sertifikasi tidak dapat berjalan jika ada satu komponen yang diabaikan.

Oleh karena itu, penting adanya edukasi dan pemahaman bersama agar seluruh proses berlangsung transparan dan adil.

“Harus terus disosialisasikan, didiskusikan. Semua pihak harus paham arah dan tujuannya. Kalau tidak, satu saja bermasalah, maka seluruh proses bisa gagal,” ujarnya.

Ashaluddin juga menyoroti kondisi di Indragiri Hulu, yang menurutnya memiliki kekhususan karakter wilayah dan masyarakat adat. Ia menyebut sejumlah konflik lahan bahkan telah memicu tindakan represif yang tidak menyelesaikan akar persoalan.

“Ketika masyarakat mempertahankan wilayahnya lalu justru dipanggil aparat dan ditahan, ini mencederai semangat keadilan. Situasi seperti ini tidak boleh terus berulang,” katanya.

Menurut dia, negara seharusnya hadir untuk membongkar masalah struktural yang menyebabkan konflik, termasuk meninjau ulang tata kelola lahan dan konsesi yang selama ini dianggap sepihak.

Ia menyatakan, jika seluruh pihak sudah memahami pentingnya keberlanjutan ekologis dan sosial, maka proses remediasi bisa berjalan dengan baik dan mengurangi potensi bencana ekologis ke depan.

“Yang kita ubah bukan hanya relasi sosial masyarakat, tapi juga cara kita mengelola ekologi. Jika dilakukan benar, ini bisa mengurangi bencana, kerusakan, dan konflik berkepanjangan,” tukasnya. (Mal)

Sumber :
https://riau.harianhaluan.com/daerah/1115099791/dialog-implementasi-kebijakan-fsc-menelusuri-konflik-lahan-perusahaan-dengan-masyarakat-adat

12

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *