Bahtera Alam, Siak – Perkumpulan Bahtera Alam telah melakukan riset kecil terkait Ketersediaan Lahan dan Potensi Ekonomi Masyarakat di Delapan (8) Kampung Adat di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Studi ini bertujuan untuk memperkuat hak penghormatan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas sumber daya alam yang mereka kelola dan manfaatkan secara turun-temurun.
Dalam konteks penguasaan lahan, wilayah yang ditempati oleh masyarakat adat ini sebagian besar berada di dalam atau berdekatan dengan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal ini menimbulkan berbagai tantangan, baik dalam aspek legalitas penguasaan lahan, keberlanjutan ekonomi masyarakat adat, maupun hubungan masyarakat adat dengan perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut.
Perkumpulan Bahtera Alam, pada Selasa, 25 Maret 2025 menyelenggarakan kegiatan berjudul Menyeimbangkan Hak dan Kepentingan : Dialog Penguasaan Lahan 8 (delapan) Kampung Adat di Kabupaten Siak dalam Kawasan HTI. Dialog ini bertujuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat terkait penguasaan lahan serta mencari solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil dan berkelanjutan.
Kegiatan yang berlangsung di kota Siak ini melibatkan pemangku kepentingan utama, termasuk Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kabupaten Siak, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Siak, perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari 8 Kampung Adat, dan pihak perusahaan.
Direktur Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian dalam pemaparannya menjelaskan latar belakang, yang dimulai dari terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Siak No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Kampung Adat di Kabupaten Siak. Dalam Perda ada 8 wilayah desa yang ditetapkan sebagai Kampung Adat. Proses pembangunan ekonomi di 8 kampung adat dipayungi oleh kebijakan Siak Hijau.
Diketahui bahwa kebutuhan pengembangan ekonomi masyarakat di 8 kampung adat itu berkaitan erat dengan ketersediaan lahan ujar Harry, sehingga penting melihat potensi dan ketersediaan lahan di delapan kampung adat tersebut. Melihat potensi ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan ketersediaan lahan serta mengidentifikasi cadangan dan potensi lahan di 8 kampung adat Kabupaten Siak. Identifikasi dilakukan melalui alur metodologi penggalian data/informasi berupa proses FGD, observasi, analisis peta, dan wawancara.
Menurut Harry, kebutuhan akan pengembangan ekonomi masyarakat (khususnya di kampung adat Kabupaten Siak), merupakan bagian dari Visi dan 8 Misi Asta Cita yang dicanangkan oleh Prabowo – Gibran, dimana pada poin 2 disebutkan : Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Selanjutnya pada poin 6 disebutkan : Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
Warga Kampung Adat Komplain kepada Perusahaan
Dari 8 kampung adat di Kabupaten Siak, ada 3 kampung adat yang beririsan langsung dengan wilayah operasional PT. Arara Abadi, yaitu Kampung Sakai Minas, Sakai Mandi Angin, dan Kuala Gasib. Dan dalam pertemuan dialog, terdapat perwakilan dari tiga kampung adat dimaksud.
Menurut Aswin, Pj. Penghulu kampung Kuala Gasib, terkait dengan program Visi dan 8 Misi Asta Cita, ia sebagai kepala desa (penghulu) sangat mendukung program ini, apalagi di kampung Kuala Gasib banyak beroperasi perusahaan-perusahaan, salah satunya Arara Abadi.
“Sebelumnya kami berterima kasih kepada Bahtera Alam, mengumpulkan kami sambil mensosialisasikan aturan negara yang sedang giat-giatnya pada tahun ini semenjak bergantinya presiden yang baru,” ujarnya.
Di Kampung Kuala Gasib tambahnya, ada sekitar 800 ha lahan mereka diklaim atau menjadi HTR oleh PT. Arara Abadi yang memulai kerjasama sejak tahun 2002. Namun saat ini masyarakat masih mengeluhkan hasil padi dan bagi hasil yang tidak sesuai.
Selain Aswin, Pj. Penghulu Sakai Minas Barat Ayang Bahari juga menyebutkan bahwa Suku Sakai sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan. Namun katanya, jika lahan masyarakat tidak diambil oleh perusahaan dan ada pembagian luas lahan yang adil untuk masyarakat Sakai, tentu mereka tidak payah mencari penghidupan yang baik.
“Tidak usahlah diambil lahan berpindah-pindah itu, HPH tu kan? sekian persen sajalah dari luas itu tadi tu. Dapat 2 hektar seorang warga Sakai tak seberapa do,” imbuhnya.
Aprizal dari perwakilan Sakai Mandi Angin juga mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di Kampung Minas Barat hampir sama seperti yang terjadi di Kampung Mandi Angin soal ketersediaan lahan. Jika dilihat secara peta administrasi, semua area kampung masuk dalam konsesi perusahaan. Jadi jangankan bicara soal ketersediaan lahan, bahkan pemukiman masyarakat pun masuk dalam konsesi perusahaan.
“Di tahun 2017 kami coba untuk melakukan pelepasan kawasan hutan itu baik melalui pp 88 kalau tidak salah, dan di tahun 2023 itu diakomodir oleh LHK itu di BPKH (Badan Penetapan Kawasan hutan), ditawarkan pemukiman, fasum, fasos, dan jalan yang ada di Mandi Angin. Itu yang baru kami terima SK di tahun 2024 di Jakarta,” jelasnya.
Perlu digarisbawahi tambah Aprizal, jangankan ketersediaan lahan, lahan swadaya yang dikelola oleh masyarakat pun masih diklaim oleh perusahaan. Jadi harapan mereka terhadap Pemerintah Kabupaten Siak, bagaimana masyarakat Mandi Angin setidaknya diakui secara hukum adat dan diakui secara hutan dan tanah ulayatnya.
Perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup Siak, dalam kesempatan dialog juga menyampaikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009, adalah peraturan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), ada bagian pokok yang menjelaskan tentang Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
“Jadi pemerintah tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat khususnya dalam masyarakat adat,” terangnya.
Persolaan yang muncul dari masyarakat kampung adat mendapat tanggapan dari perwakilan pihak perusahaan PT. Arara Abadi. Hadir dalam kesempatan tersebut adalah M. Firdaus dari bagian CSR, Lambok dari Humas Arara Abadi, distrik Siak, dan Akil juga dari Humas Arara Abadi, distrik Siak. Mereka menyampaikan bahwa ada harapan dari perusahaan, yaitu mereka mulai merangkum strategi supaya ada win-win solution antara perusahaan dan masyarakat sekitar operasi perusahaan. “Istilahnya supaya sedap sama sedap,” tutup Firdaus.
Sebelum menutup dialog, Harry Oktavian menyampaikan beberapa poin penting. Menurut Harry, sebaiknya setiap muncul kesepakatan antara masyarakat dan perusahaan, harus ada perjanjian tertulis, dan juga perlu ada pelatihan negosiasi, karena Bahtera Alam selalu ingin membangun ruang-ruang dialog atau musyawarah/mufakat.
“Saya ingin agar perusahaan menyusun program-program pemberdayaan masyarakat, dan melakukan kerjasama yang bisa disinergikan dengan pemerintah daerah setempat, misalnya pertanian dan lain sebagainya,” ujarnya.
Parapihak lanjutnya, harus membuka ruang-ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan, dan Bahtera Alam lebih suka membuka ruang-ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi pada parapihak, khususnya antara masyarakat dan perusahaan. [mom/BA]
