Bahtera Alam, Pekanbaru – Isu-isu terkait penguasaan lahan oleh perusahaan HTI dan dampaknya bagi masyarakat adat mungkin kurang dikenal secara luas, sehingga perlu disampaikan dan didiskusikan kepada parapihak dan masyarakat awam untuk meningkatkan kesadaran publik tentang persoalan ini. Demikian ungkap Hasri Dinata pada sela acara Seminar dan Sharing Advokasi Korban Hutan Tanaman Industri di Riau.
Sebagai pelaksana kegiatan seminar ini, Hasri menyebutkan bahwa selain berbagi informasi dan pengalaman, kita belajar dari suatu peristiwa seperti apa dampak yang dialami oleh masyarakat adat akibat aktivitas perusahaan HTI, dan menjadi penting untuk didiskusikan bersama-sama dengan sejumlah komunitas adat di Riau dalam sebuah pertemuan atau seminar.
“Seminar ini dapat dimotivasi oleh upaya untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang terdampak,” ujar Hasri.
Seminar dan Sharing Advokasi Korban Hutan Tanaman Industri di Riau yang ditaja oleh Perkumpulan Bahtera Alam, dilaksanakan di Pekanbaru pada Selasa, 17 Oktober 2023. Seminar ini menghadirkan narasumber dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning. Hadir dalam acara ini Perwakilan Masyarakat Adat (MHA) Riau dari sejumlah komunitas yaitu : perwakilan dari Suku Asli Anak Rawa, Suku Akit Kepulauan Meranti, MHA Sakai Kesumbo Ampai, MHA Sakai Mandiangin, dan MHA Kenegerian Petapahan. Hadir pula sebagai peserta dari perwakilan mahasiswa yaitu HIMA Kehutanan UNRI dan HIMA Kehutanan UNILAK. Dari perwakilan NGO dihadiri oleh Pokja PKSR, FKKM, dan PPSW.
Seminar yang berlangsung dari pagi hingga sore ini menurut Hasri ada beberapa tujuan, yaitu pertama, melihat bersama persoalan mendasar atas konflik tanah milik masyarakat adat akibat penguasaan lahan dan hutan oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri. Kedua adalah untuk mendapatkan pembelajaran dan pengalaman atas konflik tanah dan sumber daya alam dari masyarakat korban Hutan Tanaman Industri.
Diketahui bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat adat tidak hanya berfokus pada keberlanjutan, tetapi juga memperhatikan keberagaman hayati, ekosistem, dan keberlangsungan alam secara keseluruhan. Mereka telah mengembangkan sistem pengetahuan yang mendalam tentang tanaman obat-obatan, tumbuhan berguna, serta cara-cara menjaga keseimbangan alam yang rapuh.
Namun, semuanya berubah ketika perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) mendapatkan izin konsesi dari pemerintah untuk mengembangkan perkebunan skala besar di wilayah yang sebelumnya ditempati oleh masyarakat adat, contohnya adalah Masyarakat Adat dari Suku Sakai yang berada di Kampung Mandi Angin dan di Desa Kesumbo Ampai. Dampaknya begitu besar terhadap masyarakat adat maupun lingkungan, termasuk dampaknya terhadap kawasan hutan.
Masyarakat adat yang telah hidup selama berabad-abad di sana tiba-tiba kehilangan akses ke tanah dan hutan yang mereka anggap sebagai rumah mereka. Mereka tidak lagi bisa berburu, meramu, atau mengumpulkan kayu bakar dan bahan bangunan.
Menurut Harry Oktavian, Direktur Eksekutif Bahtera Alam, kehilangan hak akses ke sumber daya alam ini menghilangkan mata pencaharian tradisional mereka. Masyarakat adat yang sebelumnya hidup mandiri dari hutan kini terpaksa mencari pekerjaan yang kurang aman dan berpenghasilan rendah di perkebunan HTI.
“Sistem pengelolaan alam yang dijalankan oleh masyarakat adat yang berkelanjutan digantikan dengan praktik-praktik yang merusak alam,” kata Harry.
Kegiatan seminar ini menjadi wadah berbagi pengetahuan untuk mengasilkan sebuah proses belajar bersama-sama, membagikan, dan mencari solusi terkait dengan isu-isu kompleks soal penguasaan lahan oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri dan dampaknya terhadap masyarakat adat. Demikian tutup Harry. (Mom/BA)
43