Pohon Perkebunan di Bentang Alam (TPL) dan Lahan Masyarakat : Dialog TPL di Riau, Indonesia

Posted By admin on Aug 28, 2023


[Oleh : Alex Weyerhaeuser ’23 MEM, Kolega Komunikasi TFD] 12-16 Juni 2023 : The Forests Dialogue (TFD) menyelenggarakan dialog multipihak di bawah inisiatif Pohon Perkebunan di Bentang Alam (Tree Plantations in the Landscape – TPL) di Riau, Indonesia. Inisiatif TPL ini merupakan kelanjutan dari inisiatif Hutan Tanaman yang Dikelola Secara Intensif (Intensively Managed Planted Forests – IMPF), yang berlangsung dari tahun 2005 hingga 2008, di mana TFD telah mengadakan dialog serupa di Riau pada tahun 2007 yang lalu. Dialog TPL ini meninjau kembali permasalahan lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi yang topiknya pernah diangkat pada awal dialog IMPF, juga soal tantangan dan peluang baru yang berkembang selama ini.

Pohon perkebunan saat ini menyediakan sekitar 35% pasokan kayu industri dunia dan terus meluas untuk memenuhi peningkatan permintaan global akan produk kayu, serat, dan bahan bakar. Inisiatif TPL mengeksplorasi peningkatan prevalensi perkebunan dan potensinya dalam memberikan jasa lingkungan dan manfaat sosial, termasuk mitigasi perubahan iklim, restorasi ekosistem, dan penciptaan lapangan kerja. Dialog tersebut mempertemukan sekitar 60 pemangku kepentingan Indonesia dan internasional, termasuk peneliti, LSM, eksekutif perusahaan, dan pemegang hak. TFD menyelenggarakan dialog tersebut bekerja sama dengan Bahtera Alam, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, APRIL, RECOFTC, dan Forest Peoples Programme (FPP).

Ketua Dialog TPL dari kiri ke kanan: Aditya Bayunanda, direktur kebijakan dan advokasi WWF Indonesia; Lucita Jasmin, direktur keberlanjutan dan urusan eksternal APRIL; Rulita Wijayaningdyah, Kahutindo; dan Marcus Colchester, penasihat kebijakan senior di FPP dan anggota Komite Pengarah TFD.

Para peserta dialog pada awal kegiatan melakukan kunjungan lapangan selama dua hari di Semenanjung Kampar, mereka belajar dan mendapatkan pengalaman dari berbagai dinamika di seluruh lanskap termasuk kegiatan kehutanan (pembibitan, penanaman dan pemanenan pohon, kawasan bernilai konservasi tinggi, pengelolaan air serta pemantauan gas rumah kaca) dan masyarakat lokal (kawasan konservasi masyarakat, desa adat, desa adat Melayu). “Sangat penting bagi peserta kami untuk terjun ke lapangan karena banyak yang belum melihat pengelolaan hutan pada skala atau lanskap ini atau belum dapat berbicara langsung dengan anggota masyarakat,” jelas Direktur Eksekutif TFD, Gary Dunning.

“Kunjungan lapangan merupakan cara yang sangat baik untuk membantu semua orang mengalami pengalaman serupa,” tambah Marcus Colchester, anggota Komite Pengarah TFD dan penasihat kebijakan senior di FPP. “Mereka melihat dan mendengar serta menyaksikan hal yang sama. Tentu saja, mereka akan menafsirkannya dengan cara yang berbeda, sesuai dengan kepentingan dan prioritas mereka masing-masing, namun ketika mereka kembali membahasnya, mereka akan lebih memahami apa yang dipertaruhkan,” kata Colchester.

Setelah kunjungan lapangan, kelompok ini kemudian berdiskusi selama dua hari untuk menyelami lebih dalam pembelajaran utama dan mengeksplorasi isu-isu utama, atau “garis patahan”, serta solusi potensial.

Peserta dialog mengunjungi area pembibitan milik perusahaan April di Kerinci

Dialog ini menyelidiki perbedaan yang terkait dengan biaya dan manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang terkait dengan penanaman pohon. Tema-tema yang diangkat mencakup pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab, produksi berkelanjutan dalam konteks pendekatan yurisdiksi, solusi iklim berbasis alam, dinamika bentang alam, perhutanan sosial, serta model kepemilikan lahan dan penyelesaian sengketa.

Dunning berbicara kepada peserta dialog selama kunjungan lapangan ke kawasan yang ditunjuk sebagai Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value – HCV).

 

“Perkebunan akan tetap ada dan merupakan bagian penting dari banyak lanskap di Indonesia,” kata Aditya Bayunanda, CEO WWF Indonesia. Ia mencatat praktik pengelolaan intensif saat ini dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal: “Penting untuk dapat menemukan cara untuk memastikan bahwa perkebunan ini secara keseluruhan berkontribusi terhadap konservasi atau perlindungan lanskap,” tambahnya.

Di Riau, khususnya, terdapat konversi lahan dari hutan alam menjadi perkebunan dan pertanian skala besar, khususnya kelapa sawit. Dialog ini penting untuk memahami dampak perkebunan terhadap lanskap dan potensi restorasinya. “Kami ingin melihat dampak dari luasnya jejak perkebunan di wilayah ini, di mana mereka melakukan konservasi, bagaimana pola pikir mereka mengenai keberlanjutan, dan dampak dari tumbuhnya Acacia crassicarpa, spesies non-asli, di lahan gambut,” jelas Bayunanda.

Peserta diskusi pleno saat di ruang dialog.

Dinamika penting yang mengemuka dalam permasalahan lingkungan hidup sejak dialog IMPF adalah besarnya peran lahan gambut dalam penyimpanan karbon. Grup APRIL, salah satu produsen produk pulp dan kertas terbesar di dunia dan pengguna lahan utama di Semenanjung Kampar, memiliki 60% perkebunan di lahan gambut. Perusahaan ini secara aktif mencoba memahami peran penanaman pohon dan pengelolaan air dalam emisi karbon, dan berbagi penelitian baru yang menunjukkan beberapa lahan gambut berhutan tidak lagi berfungsi sebagai penyerap karbon. Bayunanda mengingatkan perlunya data jangka panjang untuk melihat tren ini pada tahun-tahun basah dan kering dan untuk melakukan lebih banyak penelitian mengenai dinamika antara hutan asli dan perkebunan yang berdekatan.

Peserta mengunjungi lokasi produksi di salah satu kawasan hutan milik perusahaan April.

“Perasaan saya campur aduk saat melihat lanskap ini, karena saya bisa membayangkan bentang alam 30 tahun yang lalu sebagai hutan yang indah dan utuh. Sungguh menyedihkan melihat semua konversi tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan pohon perkebunan,” aku Maurem Alvez, konsultan keberlanjutan di Klabin, perusahaan produksi dan manufaktur kertas terbesar di Brasil. “Tetapi kami juga mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan masyarakat lokal dan memahami kebutuhan mereka akan adanya alternatif ekonomi,” terangnya.

Dia tergerak oleh seorang petani kecil yang percaya bahwa kelangsungan hidupnya bergantung pada kelapa sawit. “Ini memberi Anda pandangan luas tentang kebutuhan nyata untuk menyeimbangkan kebutuhan sosial dan aspek lingkungan,” kata Alvez.

Riau mewakili berbagai kepentingan penggunaan lahan di lapangan: ekonomi, sosial, lingkungan hidup, jelas Lucita Jasmin, direktur keberlanjutan dan urusan eksternal APRIL. “Penting untuk melihat bagaimana dinamika ini terjadi,” ungkapnya.

Tampak dari atas hamparan penggunaan lahan di Riau.

Namun permasalahan ini tidak hanya terjadi di Riau atau bahkan di Indonesia. “Deforestasi hutan tropis adalah topik global,” kata Francisco Rodríguez, salah satu ketua Komite Pengarah TFD dan manajer sertifikasi dan keberlanjutan di CMPC, sebuah perusahaan kehutanan di Chili. Isu-isu yang diangkat dalam dialog ini mencerminkan isu-isu yang terjadi di kawasan global lainnya yang memiliki tingkat deforestasi yang sama tingginya, termasuk hak kepemilikan dan penggunaan lahan, konflik antara perusahaan kehutanan dan masyarakat lokal, serta hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati.

Dialog ini menciptakan peluang bagi para pemangku kepentingan di kawasan untuk berbicara dan mendengarkan satu sama lain, yaitu staf perusahaan kehutanan dan kelapa sawit, petani kecil, masyarakat lokal dan adat, serta kelompok kehutanan dan konservasi. “Dialog ini sudah lama tertunda,” aku Jasmin bersemangat untuk terlibat dan membangun kepercayaan antar pemangku kepentingan. “TFD memiliki platform yang jelas di mana Anda dapat melakukan dialog yang sungguh-sungguh untuk mengatasi tantangan yang ada. Ini bukan hanya tentang satu perusahaan, tapi tata guna lahan di seluruh wilayah,” terangnya.

Komunitas adat setempat dengan antusias mengikuti dialog ini, dan melihatnya sebagai peluang untuk “memperkuat gerakan pengakuan masyarakat adat, mempromosikan perlindungan tanah dan hutan adat, menyuarakan kepentingan masyarakat adat, dan membangun jaringan dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait,” jelas Harry Oktavian, direktur eksekutif LSM lokal, Bahtera Alam, mewakili hak-hak masyarakat adat.

Colchester juga membahas perlunya masyarakat sendiri untuk menjadi bagian dari proses dan betapa pentingnya bagi masyarakat untuk memahami realitas di lapangan. Dalam dialog ini, masyarakat lokal duduk di meja sebagai peserta setara dengan masyarakat dari perusahaan kehutanan, aktivis konservasi, pemuda, akademisi, dan pakar kehutanan internasional. “Mereka bukan hanya pemegang hak tetapi juga pemangku kepentingan,” Colchester menegaskan.

Harry Oktavian memfasilitasi kunjungan ke Desa Adat (Kampung Adat) di Kampung Tengah saat kelompok bertemu dengan Ketua Lembaga Adat Siak LAM (Lembaga Adat Melayu) dan perwakilan masyarakat.

Para peserta ditugaskan untuk merefleksikan perubahan yang terjadi dalam operasi kehutanan, bentang alam, dan hubungan dengan pemangku kepentingan sejak dialog IMPF pada tahun 2007. Bayunanda merefleksikan perubahan-perubahan yang ia lihat terjadi pada sisi produksi, khususnya dalam intensifikasi produksi dan pengelolaan lahan gambut. namun tidak begitu banyak dalam hal keanekaragaman hayati.

Harry Oktavian juga menyuarakan konflik yang terus berlanjut antar pemangku kepentingan di daerah, penerapan peraturan yang tidak konsisten, dan terbatasnya akses terhadap sumber daya dan informasi bagi masyarakat adat sebagai tantangan yang masih ada di wilayah ini. “Proses pengakuan dan perlindungan hutan adat masyarakat adat seringkali menemui hambatan dan penolakan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi yang kuat,” ungkapnya.

Kunjungan lapangan memberikan kesempatan untuk mendengar langsung dari anggota masyarakat lokal tentang hubungan mereka dengan lahan tersebut, dan beberapa dari mereka merasa frustrasi terhadap pelaku sektor swasta di lanskap tersebut. Pengalaman ini sangat emosional bagi anggota masyarakat setempat dan mengejutkan bagi sebagian pemangku kepentingan. “Ketika anggota kelompok ini mengambil bagian dalam sesi terobosan, kami memahami bahwa ini adalah kekhawatiran yang sah dan perspektif yang valid,” kenang Jasmin. “Kami mulai berpikir: bagaimana kita melakukan pendekatan sistematis terhadap hal ini? Bagaimana kita menjadi lebih berdampak dan efektif dalam hal memahami perspektif masyarakat terlebih dahulu sebelum menemukan solusi potensial? Dan bagaimana kita bisa lebih banyak menggunakan dialog dalam proses kita, dibandingkan dengan pertemuan formal dan negosiasi? Melihat wajah mereka dan berbicara dengan mereka saja sudah sangat membantu,” ungkapnya.

Alves (kiri) dan Mauricio Talebi mendengarkan peserta dialog lainnya saat diskusi pleno.

“Sebuah pintu terbuka antara berbagai pemangku kepentingan,” kata Rodríguez. “Masyarakat mungkin merasa lebih terbuka untuk berpartisipasi dengan TFD di sana dan untuk menunjukkan bagaimana mereka ingin berpartisipasi dalam apa yang terjadi di lanskap yang dimiliki oleh begitu banyak pemangku kepentingan,” ujarnya lagi.

Colchester juga mengakui bahwa ada “ekspresi yang cukup tulus mengenai kerugian yang telah terjadi dan apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya” namun penduduk setempat tampaknya bersedia untuk terus bekerja sama dengan perusahaan tersebut. “Mereka tidak mengatakan ‘pergi’, mereka mengatakan ‘ayo kita lakukan ini’,” serunya.

Bayunanda menemukan harapan dari cara kedua belah pihak terlibat dalam perdebatan ini: sebagai seorang aktivis lingkungan hidup ia dapat membayangkan bagaimana mereka dapat mengatasi permasalahan lingkungan hidup, namun selalu lebih skeptis dalam menghadapi trade-off sosial yang kompleks. “Membangun kepercayaan adalah proses yang berkelanjutan,” ujar Jasmin. “Ini adalah sesuatu yang perlu dilakukan secara proaktif. Anda mendapatkan kepercayaan dari pemangku kepentingan, ini bukan sesuatu yang bisa diminta atau dipaksakan. Kita perlu lebih banyak mendengarkan dan lebih banyak terlibat, terutama bagi kita yang tinggal di Jakarta, di kota. Ketika kami terjun ke lapangan, kami menyadari bahwa percakapan inilah yang perlu dilakukan,” tutupnya.

Colchester sedang memperkirakan skala prioritas terkait masalah sosial selama sesi breakout.

Tentu saja masih banyak permasalahan lingkungan dan sosial yang masih terjadi di kawasan ini, namun para peserta merasa ada harapan bahwa perubahan sedang berlangsung. “Ada peningkatan kesadaran di tingkat pemerintah dan lembaga terkait mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hutan adat,” kata Oktavian. “Cukup banyak peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan di tingkat nasional dan daerah yang mengatur tentang perlindungan masyarakat adat dan hutan adat sehingga dapat memperkuat upaya perlindungannya,” ungkapnya. Perubahan penting lainnya adalah pembaruan kebijakan terkini dari Forest Stewardship Council (FSC) yang akan memberikan jalan bagi perusahaan untuk “berhubungan” dengan FSC jika mereka melakukan remediasi sosial dan lingkungan.

“Saya tidak ingin terdengar terlalu positif, tapi saya melihat proses remediasi yang akan dilakukan [APRIL] sebagai faktor besar dalam memastikan perkebunan ini menghasilkan dampak positif,” kata Bayunanda. “Saya sebenarnya melihat dari perusahaan ada kemauan untuk berubah, melakukan hal-hal baru. Ditambah dengan remediasi dan investasi pada perlindungan umum, saya rasa masih ada harapan,” jelasnya.

Jasmin menegaskan kesediaannya untuk mendengarkan dan berubah. “Dialog masih merupakan proses pembelajaran. Hal ini tidak dimaksudkan untuk segera menyelesaikan masalah atau menghasilkan rencana tindakan. Ini tentang kemampuan mendengarkan dan mencapai perspektif bersama karena kami mencoba memecahkan masalah yang bukan hanya masalah kami,” katanya.

asmin memimpin diskusi bersama Dedy Nugroho mengenai tema-tema utama dari hasil kunjungan lapangan.

TFD berharap dapat terus terlibat dalam pekerjaan yang mereka katalisasikan. “Ada hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh aktor lokal, namun kini mereka memiliki lebih banyak peluang untuk berkolaborasi yang mungkin belum pernah ada sebelumnya,” jelas Dunning. “Ada tindakan nyata yang diharapkan dapat diambil,” tutupnya. Para pemangku kepentingan lokal tetap bersemangat menggunakan momentum ini untuk melanjutkan dialog seputar topik-topik tersebut di wilayah ini.

Semua peserta berkesempatan foto bersama di akhir sesi dialog.

Sumber : https://theforestsdialogue.org/tree-plantations-landscape-and-community-tpl-dialogue-riau-indonesia

 

109

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *