forestpeoples.org – Penelitian lapangan independen ini menunjukkan bagaimana sebuah perusahaan pulp dan kertas di Indonesia perlu menghormati hak adat masyarakat adat untuk dapat bergabung kembali dengan Forest Stewardship Council (FSC).
Asia Pulp and Paper (APP), yang merupakan anggota Grup Sinar Mas, adalah salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia yang beroperasi di tiga benua, tetapi di tahun 2007, perusahaan dikeluarkan dari FSC karena banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan, termasuk perampasan lahan, deforestasi, pengeringan lahan gambut dan penggundulan area-area Nilai Konservasi Tinggi.
Saat ini, perusahaan tengah berusaha untuk masuk kembali ke FSC. Sejak 2007, APP terus-menerus berupaya untuk memulihkan reputasinya dan telah membuat komitmen-komitmen untuk menghentikan praktik-praktik yang merusak. Kerangka Kerja Remediasi FSC yang baru mewajibkan APP untuk tidak hanya menghentikan seluruh pelanggaran hak dalam operasinya, tetapi juga memberikan remediasi bagi hutan-hutan yang telah mereka rusak dan komunitas-komunitas yang hak-haknya telah mereka langgar antara tahun 1994 dan 2020.
Sejalan dengan hukum-hukum HAM internasional, FSC juga mewajibkan perusahan-perusahaan untuk menghormati HAM dan hak-hak adat dari masyarakat adat dan komunitas lokal.
Penelitian ini dilakukan atas permintaan Orang Sakai dari Siak, yang terdampak oleh operasi APP. Forest Peoples Programme dan mitra lokal Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Bahtera Alam (BA) bekerja sama dengan Orang Sakai untuk mengkaji situasi mereka dan bagaimana standar dan regulasi FSC diterapkan di lapangan.
Upaya APP untuk memperbaiki pelanggaran tanah sebelumnya dengan Orang Sakai bisa menjadi peluang bagi komunitas ini untuk memperkuat hak-hak tanah mereka, sekaligus menunjukkan bagaimana perkebunan-perkebunan lain perlu menghormati hak-hak adat jika mereka ingin kegiatan mereka tetap selaras dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan standar FSC.
Konteks:
Berdasarkan hukum internasional, masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif atas tanah dan wilayah adat mereka serta hak atas restitusi dan remediasi ketika tanah mereka diambil tanpa persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) mereka. Hak-hak ini harus dijunjung tinggi oleh dunia usaha, bahkan meskipun negara tempat mereka beroperasi tidak secara resmi mengakui hak-hak tersebut.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi dan mendukung instrumen-instrumen utama hak asasi manusia internasional, dan UUD Indonesia juga menjunjung tinggi hak-hak adat, peraturan pelaksanaannya masih tidak mencukupi. Dalam praktiknya, sebagian besar hak masyarakat adat atas wilayah dan tanah mereka belum diakui dan dilindungi secara efektif. Tanpa upaya untuk melibatkan – apalagi meminta persetujuan dari – masyarakat adat yang tinggal di sana, pemerintah telah menyerahkan lahan yang luas kepada dunia usaha, sehingga mengakibatkan konflik lahan yang meluas.
Silahkan klik gambar berikut untuk baca laporannya :
63