Perempuan Adat Di Riau Dalam Pengelolaan SDA Dan Ekonomi Alternatif

Posted By admin on Dec 10, 2023


RIAU ONLINE, PEKANBARU – Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di masyarakat adat tidak lepas dari peran perempuan adat di kehidupan. Mereka pada umumnya bergantung pada sumber daya alam seperti hutan, sungai dan lahan pertanian, yang merupakan mata pencaharian dan kebutuhan sehari-hari.

Perempuan adat terlibat dalam beragam aktivitas seperti berburu, mengumpulkan tanaman liar dan berkebun. Mereka juga memiliki peran sangat penting dalam pengelolaan SDA, serta berkontribusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem lokal, menjaga keberlanjutan penggunaan sumber daya dan menjalankan praktik-praktik keberlanjutan yang diwariskan secara turun temurun.

Mengingat pentingnya perempuan adat dalam hal ini maka pentingnya para pemangku kebijakan seperti pemerintah daerah untuk mendukung hak-hak perempuan adat serta mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini menjadi pembahasan dalam seminar dan lokakarya dengan tema “Peran Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ekonomi Alternatif.” Kegiatan yang ditaja Perkumpulan Bahtera Alam, Kamis 7 Desember 2023 diikuti sejumlah perwakilan perempuan adat di Riau.

“Peran perempuan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam juga terkait erat dengan kesejahteraan keluarga dan komunitasnya. Mereka sering bertanggung jawab untuk memastikan tersedianya pangan, air, dan kebutuhan dasar lainnya bagi anggota keluarga dan masyarakat,” ujar Direktur Bahtera Alam, Hari Octavian.

Menurutnya, perlu adanya pengembangan potensi yang lebih mendalam tentang kontribusi mereka. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam mengakui dan mendukung hak-hak perempuan adat serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

“Oleh karena itu, kolaborasi antara perempuan adat dan pemerintah daerah adalah kunci untuk mengatasi berbagai isu ini, untuk mewujudkan kolaborasi ini,” ulasnya.

Bahtera Alam dalam lokakarya tersebut mengundang pemateri dari DP3AP2KB Bengkalis dan juga pelaku UMKM. Para peserta antusias menyampaikan pertanyaan dan cerita yang mereka bawa dari daerahnya masing-masing.

Seperti Erika, yang merupakan perempuan Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat (Siak). Ia menceritakan bagaimana perkembangan produk UMKM yang tengah mereka geluti saat ini sudah menyasar pasar internasional.

“Produk kami sudah sampai Belanda, Singapura. Produk andalan kami nastar. Kami lebih banyak menjual ke luar karena target pasar lebih besar ke luar daerah. Pembeli jika sudah tau rasanya enak dan cocok, mereka akan memesan lagi. Selain nastar, ada juga bolu nanas, keripik, sirup Natadepina. Setiap momen, seperti nataru pasti selalu ada pesanan,” ujar Erika yang tergabung dalam kelompok UMKM Ratu Penyengat.

Elvianora Himza yang menjadi pemateri dari pelaku UMKM mengapresiasi kemajuan kelompok UMKM Ratu Penyengat. Dirinya mengatakan bahwa, selain orang asing, memang banyak target pasar di luar negeri merupakan orang Indonesia.

“Mereka menanti produk-produk dari Indonesia. Saya rasa, orang asing juga lebih menyukai produk etnik, seperti batik, dan harganya di luar akan menjadi lebih mahal,” paparnya.

Wanita yang akrab disapa Nora meyakinkan para perempuan adat untuk percaya diri memasarkan produk UMKM mereka. Agar bisa terus berlanjut, maka kelompok usaha harus terus memproduksi dan promosi.

“Jadi, jangan takut memasarkan produk yang ibu-ibu produksi. Ekspor menjadi satu cara, namun produk sudah diatur legalitasnya. Perlu diingat, untuk mengekspor barang tidak perlu menunggu banyak dulu, tapi tetap aspek legalitas diutamakan. Lalu, untuk pemasaran berkelanjutan maka produksi produk harus diperbanyak,” kata Nora.

Nandrah, mewakili DP3AP2KB Bengkalis mengapresiasi kegiatan lokakarya bagi perempuan adat. Ia menilai, ini menjadi upaya bersama untuk bisa memajukan perempuan adat di Riau.

“Saya sangat apresiasi kegiatan yang ditaja oleh Bahtera Alam. Karena memang kita butuh yang seperti ini, para perempuan adat mesti lebih maju dan kreatif agar tidak ketinggalan. Kita ketahui bahwa banyak perempuan adat yang tidak percaya diri karena mungkin keterbatasan akses informasi dan sebagainya,” ulasnya.

Ia menilai saat ini perkembangan perempuan adat sudah sangat baik, karena mereka aktif mengikuti program dari pemerintah daerah. Para perempuan adat ingin lebih maju dan berkembang, serta ikut bersama memajukan kekayaan adat yang ada.

“Sudah lebih baik dan lebih maju. Artinya, mereka sudah ikut berkontribusi di dunia usaha bahkan dunia politik. Ini suatu kemajuan yang bagus. Di Bengkalis sendiri, organisasi wanita juga sudah banyak. Tentunya kami dari pemerintah akan sangat mendukung. Mudahan akan kita buat program pelatihan yang lebih fokus pada perempuan adat ini,” tuturnya.

Ada banyak komunitas perempuan adat di Riau, beberapa di antaranya adalah perempuan adat Suku Sakai Batin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai (Bengkalis), Suku Sakai di Kampung Mandi Angin (Siak), Suku Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat (Siak) dan Suku Akit (Kepulauan Meranti).

Pada 9 November 2022, Gubernur Riau menyerahkan SK Pengakuan Hutan Adat Imbo Ayo dan Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai Bathin Sebanga di Desa Kesumbo Ampai Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Luasan hutan adat Bathin Sobanga mencapai 207 hektar, dan sebagiannya sudah menjadi Area Penggunaan Lain (APL).

Saat ini di Riau, terdapat 17 komunitas adat yang sudah diakui oleh pemerintah yaitu 8 MHA berada di Kabupaten Kampar, 8 MHA berada di Siak dan 1 MHA berada di Bengkalis. Komunitas perempuan adat di empat desa/kampung ini memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tempat tinggal mereka.

“Namun, seringkali hak-hak mereka terkait dengan pengelolaan sumber daya alam tidak diakui sepenuhnya. Ini mencakup akses yang terbatas, pembagian hasil yang tidak adil, dan pengabaian atas kebutuhan dan pandangan perempuan adat,” ujar Hari.

Penguasaan tanah/lahan dan kawasan hutan milik masyarakat adat oleh perusahaan sektor perkebunan dan kehutanan selama puluhan tahun, telah memperparah disparitas atau kesenjangan ekonomi dan sosial dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi antargolongan.

“Jadi, output dari kegiatan ini adalah, munculnya kesepahaman bersama antara perempuan adat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memajukan peran perempuan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi alternatif. Kemudian, adanya penambahan wawasan dan pengetahuan terkait pengelolaan sumberdaya alam dan ekonomi alternatif,” tutup Hari.

34

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *