Bahtera Alam, Pekanbaru – Mengingat pentingnya sumber daya alam seperti hutan dan lahan bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat adat, dominasi perusahaan swasta atas lahan tersebut menimbulkan dampak serius terhadap perempuan adat dan komunitas mereka secara menyeluruh. Dibutuhkan upaya advokasi, reformasi kebijakan, dan penegakan hukum yang lebih kuat untuk memastikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan adat, serta untuk memastikan akses yang adil dan berkelanjutan terhadap sumber daya alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Pelatihan advokasi perempuan adat dalam konteks hak atas sumber daya alam sangatlah penting karena melibatkan berbagai aspek vital yang berpengaruh pada perempuan adat, komunitas mereka, dan lingkungan mereka. Demikian ujar Hasri Dinata, sebagai pelaksana kegiatan dari Perkumpulan Bahtera Alam, bersempena kegiatan Pelatihan Advokasi Perempuan Adat Atas Hak Sumber Daya Alam.
“Melalui pelatihan advokasi, perempuan adat dapat memperoleh keterampilan yang esensial untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan terkait sumber daya alam di lingkungan mereka. Hal ini memberikan mereka kesempatan untuk berbicara dan berperan aktif dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka,” kata Hasri di sela-sela acara pada Rabu, 18 Oktober 2023 di Ruang Pertemuan Cititel Hotel, Pekanbaru.
Pelatihan Advokasi Perempuan Adat Atas Hak Sumber Daya Alam ini mengundang narasumber dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Riau dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru. Hadir dalam kegiatan ini Perwakilan Masyarakat Adat Riau yaitu : Perempuan adat dari Suku Asli Anak Rawa, Suku Akit Kepulauan Meranti, MHA Sakai Kesumbo Ampai, MHA Sakai Mandiangin, dan MHA Kenegerian Petapahan.
Tujuan umum dari pelatihan ini adalah memberikan dan meningkatkan pemahaman yang lebih baik kepada perempuan adat tentang hak-hak mereka terkait dengan sumber daya alam, termasuk hak atas tanah, air, hutan, dan keberlanjutan lingkungan. Demikian ungkap Harry Oktavian, Direktur Eksekutif dari Perkumpulan Bahtera Alam.
Selain itu lanjutnya, mengembangkan keterampilan advokasi perempuan adat, termasuk keterampilan komunikasi, negosiasi, penyusunan argumen, dan strategi advokasi yang efektif.
“Kemudian adalah memahamkan perempuan adat tentang hak mereka dalam hukum nasional dan dan internasional serta memberi mereka alat untuk melindungi hak-hak ini melalui jalur hukum,” terang Harry.
Andri Alatas, SH. sebagai narasumber dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, dalam materinya tentang Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Adat, menjelaskan bahwa Masyarakat Adat adalah sekelompok orang yang mempunyai wilayah dan batas wilayah, aturan dan hukum adat serta tradisi secara turun temurun. Dan hukum adat adalah hukum tradisional ataupun aturan yang berlaku dalam satu wilayah tertentu dan juga ada badan atau lembaga yang mengatur di dalamnya.
“Namun, sampai sekarang kita merasa seperti dijajah oleh bangsa sendiri di mana aturan sudah ada namun tidak ada implementasi di lapangan mengenai aturan yang ada tersebut,” ungkap Andri. Padahal negara memiliki kewajiban dalam pemenuhan hak asasi masyarakat adat di antaranya soal perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan. Demikian jelasnya.
Pada sesi kedua, terkait perempuan adat dalam proses mengadvokasi sumberdaya alam, Alatas menyebutkan bahwa Pasal 28i ayat 3 UUD 1945 menyebutkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
“Pemerintah boleh berinvestasi namun tidak boleh merugikan masyarakat lokal terutama masyarakat adat,” tutup Andri. (Mom/BA)
