[Oleh : Nuskan Syarif] Kabut tebal menyelimuti puncak bukit hutan adat Imbo Kayu Agho, perlahan merambat turun ke kaki bukit dan terus bergeser menutupi permukaan sungai Subayang yang jernih dan tenang.
Gemericik deras air sungai di sekitar pulau Palo Koto menambah syahdu suasana pagi, mengiringi nafas warga Kenegerian Batu Songgan yang turun mandi, mencuci, menyiapkan sampan, dan yang bersiap berangkat ke kebun karet untuk memotong.
Seketika perlahan deru robin (sampan atau pighau bermesin merek robin) terdengar dari kejauhan, lambat-lambat derunya semakin keras memecah keheningan pagi yang tenang, seorang ibu dan bapak tua tanpa canggung duduk di atas sampan yang melaju membelah Subayang. Aku yang sedang duduk di tepian sungai berbatu terpana saat senyuman dilemparkan penumpang sampan sambil melambai ke arahku.
“Oii, apo nan gang buek kek tu da yuang? (Oii, apa yang sedang dibuat di sana Nak?),” teriak Ibu itu. Aku membalas senyuman mereka. “Hanyo menikmati suasana pagi ko jia nyia mak (hanya menikmati suasana pagi ini saja buk),” sahutku.
Tak lama robin itu perlahan hilang dari pandangan meninggalkan alunan ombak silih berganti menghempas kakiku yang berselonjor di tepian tempat aku berada.
Jam tangan masih menunjukkan pukul 05.30 Wib, kelamnya pagi perlahan mulai sirna seiring semburat merah mentari malu-malu memancarkan cahayanya di ufuk Timur. Keindahannya sedikit terhalang tabir pepohonan hutan yang menjulang tinggi dan selimut putih kabut pagi.
Masyarakat Kenegerian Batu Songgan pagi itu semakin ramai, beberapa memacu pighau mereka menuju kebun-kebun karet tempat mereka mencari nafkah sambil membawa ambung (keranjang rotan), beberapa alat dari anyaman, dan sebilah parang.
Di saat harga karet mencapai titik terendah, masyarakat masih tetap menggantungkan hidupnya pada kebun karet. Dengan harga jual 4000 perak dengan hasil memotong karet rata-rata 10kg/hari, sebetulnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak. Rata-rata masyarakat di Batu Songgan menyekolahkan anak mereka ke luar desa seperti ke ibukota kecamatan hingga ke ibukota provinsi. Terkadang satu keluarga ada menyekolahkan dua hingga tiga anak ke luar desa.
Perjuangan mencari nafkah masyarakat Kengerian Batu Songgan sangat tinggi di saat harga karet yang jauh dari harapan, karena kebutuhan hidup harus terpenuhi setiap hari. Mengelola lahan disamping memotong karet, menjadi alternatif pemenuhan nafkah. Cara masyarakat mengelola lahan menjadi catatan penting karena masyarakat masih memegang konsep pelestarian berlandaskan kearifan lokal dan adat istiadat.
Sejak ditetapkannya Hutan Rimbang Baling di Kampar Kiri Hulu menjadi Suaka Margasatwa, laju degradasi hutan di kawasan melambat dan pembukaan serta pengelolaan lahan oleh masyarakat untuk pertanian berhenti. Umur tanaman karet milik masyarakat yang usianya sekitar 5 – 7 tahun, dan sejak ditanam tidak ada lagi masyarakat membuka lahan baru untuk kebun karet. Beberapa lahan masih dibuka dan dikelola oleh masyarakat yaitu lahan yang berada di sepanjang bantaran sungai karena merupakan area kebun tua milik leluhur. Aktivitas pembalakan oleh masyarakat juga terjadi di area kebun tua ini.
Uniknya, di Kenegerian Batu Songgan bisa dikatakan tidak ada masyarakat lokal yang memilih menjadi logger (pembalak). Sejak kurun waktu tahun 2016 hingga 2018, logger dari warga lokal bisa dihitung dengan jari, hanya berkisar satu atau dua orang saja, dan di akhir tahun 2018 tidak ada lagi. Berbeda yang terjadi di bantaran Sungai Bio dan desa-desa di bagian hulu Kenegerian Batu Songgan, pembalakan terus berlangsung hingga kini.
Kawasan Hutan Rimbang Baling yang dijadikan Suaka Margasatwa memiliki enam kenegerian, satu kekhalifahan, dan delapan desa yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Subayang. Enam kenegerian ini adalah Kenegerian Batu Songgan, Kenegerian Malako Kociak, Kenegerian Gajah Bertalut, Kenegerian Aur Kuning, Kenegerian Terusan, dan Kenegerian Pangkalan Serai. Ditinjau dari sejarah, usia keberadaan seluruh kenegerian ini umurnya sudah ratusan tahun dengan luas wilayah adat Kekhalifahan Batu Songgan sekitar 70.017 Ha.
Di dalam Kenegerian Batu Songgan ada dua desa administratif yaitu Desa Batu Songgan dan Desa Muara Bio, dua desa ini jaraknya berdekatan dan terletak di sepanjang daerah aliran sungai Subayang. Jika memakai perahu robin, desa satu dengan desa lainnya bisa ditempuh dalam waktu kira-kira 10 menit dan jika berjalan kaki juga sekitar 10 menit. Kedua desa memiliki suku dan aturan adat yang sama, dan mayoritas kedua desa adalah petani karet.
Masyarakat di Batu Songgan umumnya adalah petani karet. Pagi sekali mereka sudah berangkat ke kebun untuk menakik gotah (menderes karet) dan kembali ke rumah dekat siang hari. Rata-rata masyarakat bekerja di kebun sekitar 3 – 5 jam sehari. Biasanya saat menuju pulang, waktu menjelang siang dimanfaatkan dengan menjala dan menjaring ikan ditemani oleh adik atau istri-istri mereka.
Di Batu Songgan hampir tidak ada yang memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam palawija seperti sayur mayur dan cabe, yang ada hanya berskala kecil saja.
Memotong Getah adalah Keasyikan Tersendiri
Menakik gotah (menderes/memotong getah) merupakan aktivitas mencari nafkah yang memiliki keasyikan tersendiri. Bagi mereka yang pernah berkunjung ke Camp Pokja Ekowisata Batu Bolah di Desa Batu Songgan, di sekitar camp tersebut ada sehamparan kebun karet milik seorang ibu bernama Lina, dan ibu Lina dalam kesehariannya biasa memotong getahnya sendiri, hasil karet inilah untuk membiayai semua kebutuhan rumah tangganya. Ibu Lina cukup ramah, jika kita bertanya soal getah, ibu separuh baya ini bersemangat menjelaskan, bahkan beliau tidak segan mengajarkan bagaimana menggunakan takik atau pisau deres.
Suatu ketika, aku pernah menemui Ibu Lina sekedar berbincang-bincang soal karet. Di saat ngobrol sambil asyik menakik getah, Ibu Lina tiba-tiba terkejut saat aku menawarkan diri menyelesaikan sisa pekerjaannya menakik getah.
“Kak, pinjam takiknya, biar aku yang menyelesaikan, kan cuma tersisa beberapa puluh pohon lagi,” tantangku semangat, aku memanggilnya Kak Lina. “lai iyo ang bisa nakiak yuang (Apa bisa kamu menakik getah, dek),” tanyanya sambil menatapku heran.
“Lihat saja nanti, kakak duduk saja di camp beristirahat ditemani adik-adik pokja sambil menikmati makanan kecil yang ada, biar saya yang menyelesaikan sisanya,” sahutku sambil tersenyum.
Hamparan pepohonan karet itu kemudian aku jelajahi, naik turun tebing dan serangan nyamuk serta pacat tidak aku hiraukan. Hanya dalam beberapa menit, takikan getah terakhir akhirnya aku selesaikan. Ada rasa puas dalam hatiku, karena pekerjaan ini sudah lama sekali aku tinggalkan. Ingatanku kembali 20 tahun yang lalu terkenang keseharian di kampung di Lipat Kain, saat memotong karet adalah pekerjaanku sehari-hari sembari membantu ayah dan ibuku yang juga petani karet.
Ibu lina ternyata dari tadi memperhatikan pekerjaanku dari jauh dan kembali terkejut saat aku telah menyelesaikan semuanya. Langsung dia menghampiriku dan memperhatikan sisa beberapa pohon tadi.
“Lai bisa nyia ang ma manakian gotah, dan dak do lecet batangnyo dak lo kono kayunyo, dimano ang belajegh nakiak? (Bisa rupanya kamu motong karet, tak ada lecet dan tak pula kena kayunya, dimana kamu belajar motong karet ini?),” tanyanya heran.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, sekonyong-konyong adik-adik di Pokja menimpali. “Dia sudah biasa nakik tu kak karena dia punya kebun karet di Lipatkain,” ujar mereka tertawa.
Rasa penasaran Ibu Lina semakin dalam, pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari bibir Ibu Lina seputar pengetahuan dan pengalamanku soal karet dan kujawab dengan senang hati. Setelah semua tanya jawab, Ibu Lina pun pamit pulang, karena matahari pun sudah mulai tinggi, karena saatnya beliau untuk menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya. Sebelum Ibu Lina melangkah jauh, tiba-tiba ia berbalik sambil berucap, “jawabanmu masih belum bikin aku puas, keyakinanku baru 90%, besok aku tanya-tanya lagi,” sahut Ibu Lina dari kejauhan sambil tersenyum. Kami pun tertawa.
Warga Tetap Bertahan dengan Berkebun Karet
Suatu ketika, aku bersama beberapa orang warga ikut berbincang-bincang di pinggiran sungai Subayang, beristirahat setelah mereka dari pagi memotong karet. Ditemani gemericik air sungai, obrolan kami sampai pada dampak jatuhnya harga karet terhadap kehidupan masyarakat, yang dulunya bisa mencapai harga Rp.20.000/kg (tahun 2008) hingga merosot tajam menjadi Rp.5.000/kg. Menurut mereka, jatuhnya harga karet sangat memukul ekonomi warga tempatan tetapi mereka tidak tahu harus berbuat apa dan hanya pasrah menerima keadaan. Mereka berharap jika pun harga jatuh, supaya berhenti di kisaran harga Rp.8.000/kg saja.
“Kami sebagai masyarakat desa yah tidak tahu banyak dan hanya berharap harga getah menjadi lebih baik, minimal harga Rp.8.000/kg saja kami sudah sangat bersyukur. Dengan harga segitu akan sangat membantu perekenomian kami saat ini,” ujar Datuk Pucuk pelan, sambil matanya memandang lurus hamparan kebun karet di depannya.
“Dulu masih bisalah berladang, bercocok tanam padi dan cabe, namun saat ini kami harus berfikir keras karena kami takut membuka lahan, takut kena tangkap, dan mendapat ancaman. Pokoknya saat ini kami menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin, walau semua kebutuhan terpaksa dibeli dari luar minimal kami masih bisa membiayai anak-anak kami sekolah di luar,” sambung Datuk Pucuk yang sudah bertani karet sedari dulu.
Sejak ditetapkan kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SM-BRBB) yang berada di Wilayah Adat Kenegerian Batu Songgan, pengelolaan lahan dan aktivitas di hutan berkurang drastis karena memang dilarang atas nama kepentingan negara, sehingga kebiasaan bertani berladang kini benar – benar sudah ditinggalkan, alhasil, semua kebutuhan pangan didatangkan ke hulu.
Akibat harga karet dihargai sangat rendah, beberapa masyarakat di luar Batu Songgan kemudian melirik aktivitas balak (logging) sebagai alternatif untuk menambah income keluarga. Pembalakan meskipun resikonya tinggi terutama sejak penetapan kawasan hutan sebagai Suaka Margasatwa, namun beberapa masyarakat mencoba peruntungannya dan memang di beberapa tempat marak dengan aktivitas logging. Apakah aktivitas logging atau pembalakan ini dapat dihentikan? Demikian tanyaku di sela-sela perbincangan kami.
“Bisa, tapi harga karet delapan ribu,” jawab mereka hampir serempak. “Kenapa warga disini masih konsisten memotong karet,” tanyaku? “Karena membalak itu beresiko,” ujar Abas masygul.
Mereka berharap harga karet berada di kisaran harga rp.8.000/kg sehingga godan untuk logging atau membalak dapat ditepis. Membalak itu memang banyak resikonya, misalnya ancaman tertimpa kayu tebangan, terjepit saat akan menurunkan dan menghanyutkan kayu ke tebing sungai, melawan rasa dingin air sungai, dan resiko atau ancaman lainnya. Mirisnya, resiko yang mengintai tidak sebanding dengan hasil yang didapat, meskipun nilai nominal dari hasil menjual kayu cukup besar.
“Hitung-hitungannya begini,” ungkap Idi sambil membetulkan duduknya. “Satu rombongan pembalak biasanya terdiri dari 4 hingga 8 orang dan mereka mandah (bermalam) di hutan. Seminggu di hutan, dapat menghasilkan tebangan kayu terkadang satu mobil hingga dua mobil prah,” ujarnya.
Satu mobil prah, tambah Idi, muatan kayunya bisa bernilai uang sejumlah Rp.3.500.000,- dan uang itu kemudian dipotong biaya mandah dan biaya transportasi. Setelah pemotongan biaya ini itu, uang selanjutnya dibagi merata ke delapan orang.
“Bersih uang yang kami terima berkisar Rp.300.000 hingga Rp.600.000,- per trip. Memang lebih besar dibandingkan hasil karet namun ya resikonya besar juga,” jelas Idi sambil meringis.
“Berbeda dengan karet, kami menakik mulai pagi, siang harinya kami sudah pulang dan bisa sambil mencari ikan sebagai lauk di rumah, dan bias pula mengerjakan kegiatan yang lainnya,” timpal Abas.
Meskipun harga karet sudah tidak lagi rasional, namun karena karet adalah mata pencaharian masyarakat sejak turun temurun dan mudah merawatnya, sehingga masih menjadi primadona bagi masyarakat kampung sebagai sumber nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kemudian, pertanyaanku berlanjut soal peluang membangun kebun sawit. Memang ada keinginan untuk mencoba berkebun sawit tetapi setelah dihitung-hitung secara ekonomi terkait medan, jarak, dan kemampuan daya angkut sampan ke penampung buah sawit di Desa Gema, justru tidak menguntungkan karena akan ada banyak biaya yang akan dikeluarkan. Pertimbangan lain adalah masyarakat Desa Batu Songgan tidak ingin merusak peruntukan hutan mengingat sawit merupakan jenis tanaman yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat desa ingin tetap menjaga kelestarian hutan karena mereka saat ini masih memegang teguh adat istiadat dalam menjaga dan merawat hutan berlandaskan kearifan lokal.
Seorang warga mengungkapkan kejadian pahit masa lalu yang pernah melanda Desa Batu Songgan. Pada 1974, musibah banjir bandang akibat banyak pohon ditebang, akibatnya banjir menghantam desa mereka dan banyak rumah-rumah warga dan rumah-rumah tua peninggalan leluhur lenyap tak berbekas terseret arus Sungai Subayang.
Kearifan lokal masyarakat Batu Songgan dalam menjaga hutan banyak mendatangkan manfaat. Di saat bibit karet ditanam dan tumbuh, seiring itu pula hutan muda ikut bertumbuh dan menghijau, dan sumber-sumber air pun tetap terjaga. Jika manusia memperlakuan alam dengan arif dan bijaksana, maka alam akan memberikan kebaikan kepada lingkungan sekitarnya dan menjadi ‘sahabat’ bagi manusia. Selamanya. [Editor : Mu’ammar Hamidy]
