Bahtera Alam, Pekanbaru – Forest Stewardship Council (FSC) adalah sebuah organisasi nirlaba internasional yang berfokus pada sertifikasi hutan dan produk-produk kayu yang berasal dari hutan yang dikelola dengan cara yang bertanggung jawab secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. Tujuan utama FSC adalah mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan perlindungan terhadap ekosistem hutan yang penting bagi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia.
FSC didirikan pada tahun 1993 sebagai respons terhadap keprihatinan yang berkembang tentang perusakan hutan dan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Organisasi ini mengembangkan kriteria dan standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yang meliputi aspek-aspek seperti perlindungan habitat satwa liar, pemeliharaan kualitas air, pelestarian keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat lokal.
Melalui program sertifikasi, FSC mengaudit dan memberikan label “FSC certified” kepada perusahaan yang memenuhi standar pengelolaan hutan yang ditetapkan. Label ini memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk kayu atau produk-produk yang mengandung bahan kayu yang mereka beli berasal dari hutan yang dikelola dengan cara yang bertanggung jawab.
Sertifikasi FSC telah diterima secara luas di seluruh dunia dan banyak perusahaan dan organisasi telah berkomitmen untuk menggunakan produk kayu yang bersumber dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Melalui sistem sertifikasi dan dukungannya terhadap praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan, FSC berusaha untuk mempromosikan pelestarian hutan dan mendorong penggunaan kayu yang bertanggung jawab secara lingkungan.
Masyarakat Adat dalam Standar Penilaian FSC
Pada Jumat 16 Juni 2023, sejumlah perwakilan Masyarakat Adat di Riau telah berdiskusi dengan Kepala FSC Indonesia, Hartono Prabowo, terkait isu-isu kehutanan dan keterlibatan masyarakat adat dalam standar penilaian Forest Stewardship Council (FSC). Hadir dalam diskusi tersebut perwakilan Masyarakat Adat Suku Sakai Minas Kabupaten Siak, Masyarakat Adat Suku Sakai Bathin Sobanga Kabupaten Bengkalis, Suku Akit Kabupaten Kepulauan meranti, Suku Asli Anak Rawa Kabupaten Siak, dan perwakilan organisasi dari Jaringan Masyarakat Gambut Siak.

Kepala FSC Indonesia, Hartono Prabowo, saat berdialog dengan perwakilan Masyarakat Adat pada 16 Juni 2023 di ruang pertemuan Hotel Pangeran Pekanbaru [Dok. Bahtera Alam]
Diskusi yang berlangsung di ruang pertemuan hotel Pangeran Pekanbaru, dihadiri pula oleh Bahtera Alam. Hartono Mengatakan bahwa Dalam standar penilaian FSC, masyarakat adat diperhitungkan dan diakui sebagai pemangku kepentingan yang penting dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
“FSC mengakui hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengelola, dan mengendalikan tanah mereka serta menggunakan sumber daya alam di wilayah mereka,” ujar Hartono.
Menurut Hartono, dalam proses sertifikasi FSC, lembaga sertifikasi melakukan penilaian terhadap perusahaan atau pengelola hutan untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, termasuk keterlibatan dan pengakuan hak masyarakat adat. Masyarakat adat juga dapat memberikan masukan dan informasi kepada lembaga sertifikasi selama proses penilaian.

Sejumlah perwakilan Masyarakat Adat di Riau hadir dalam dialog dengan FSC Indonesia, pada 16 Juni 2023 lalu [Dok. Bahtera Alam]
FSC berusaha untuk memastikan bahwa masyarakat adat memiliki peran yang kuat dan dihormati dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan, serta memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dilindungi. Demikian tutup Hartono.
Bahtera Alam Anggota FSC Internasional
Bahtera Alam merupakan salah satu NGO yang diterima sebagai anggota FSC pada Agustus 2022 lalu setelah melalui tahapan proper test, dan menjadi satu-satunya anggota dari lembaga NGO yang ada di Sumatera.
“Alasan Bahtera Alam ikut berkontribusi dalam organisasi internasional ini karena FSC memiliki ruang diskusi khusus untuk persoalan penghormatan hak masyarakat adat agar bisa mendapatkan pengakuan dan hak mereka dari perusahaan-perusahaan kehutanan yang banyak beroperasi di Indonesia,” ungkap Direktur Eksekutif Bahtera Alam, Harry Oktavian.
Bahtera Alam sebagai lembaga yang concern terhadap persoalan dan isu-isu kehutanan dan hak masyarakat adat, pada 9-14 Oktober 2022 yang lalu ikut serta dalam perhelatan FSC di Bali, dan mengikuti proses pertemuan khususnya pada social chamber, yaitu ruang diskusi yang fokus membicarakan persoalan sosial pada sektor kehutanan.
Menurut Harry, Bahtera Alam dan FSC Indonesia mendorong sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam proses sertifikasi FSC di Riau, dan ikut berkontribusi mendorong proses sertifikasi yang transparan.
Prinsip-Prinsip FSC dan Perlindungan Masyarakat Adat
Diketahui bahwa FSC memiliki prinsip-prinsip yang secara khusus menyentuh keterlibatan masyarakat adat. Prinsip-prinsip ini tercantum dalam Kriteria dan Indikator FSC untuk Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan. Beberapa prinsip dan kriteria terkait masyarakat adat dalam standar FSC adalah sebagai berikut:
Prinsip 2: Masyarakat Adat dan Hak Asli
Prinsip ini menyatakan bahwa hak-hak masyarakat adat dan hak asli harus diakui dan dihormati. Masyarakat adat harus terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hutan dan sumber daya alam di wilayah mereka.
Kriteria 2.3: Pengakuan dan Penghormatan atas Hak-hak Masyarakat Adat
Kriteria ini menekankan perlunya pengakuan resmi atas hak-hak masyarakat adat dan perlindungan terhadap warisan budaya mereka. Pengelola hutan yang ingin mendapatkan sertifikasi FSC harus memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati.
Kriteria 2.4: Keterlibatan Masyarakat Adat dan Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan
Kriteria ini menuntut bahwa masyarakat adat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hutan dan sumber daya alam di wilayah mereka. Masyarakat adat harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dalam perencanaan, implementasi, dan pemantauan kegiatan pengelolaan hutan. [mom/BA]
