Bahtera Alam, Pekanbaru – Meskipun ada regulasi dan undang-undang yang mengakui hak Masyarakat Hukum Adat, implementasinya masih belum optimal, karena banyak kasus di mana hak Masyarakat Hukum Adat dilanggar oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa adanya sanksi yang tegas. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran para pihak terkait perlindungan dan penghormatan hak Masyarakat Hukum Adat. Saat ini dari data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Bahtera Alam, terdapat 17 komunitas/Masyarakat Hukum Adat di Riau yang sudah mendapatkan pengakuan legalitas dari Pemerintah Daerah.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tersebut adalah dengan mengadakan acara dialog dan sharing tentang Masyarakat Adat. Kegiatan ini menjadi ajang bertukar informasi dan pengalaman bagi Masyarakat Hukum Adat, pemerintah, akademisi, dan NGO dalam memperkuat perlindungan dan penghormatan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
Oleh karena itu, pada Rabu, 2 Agustus 2023 mengambil tempat di ruang pertemuan Hotel Grand Central, Bahtera Alam yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, menyelenggarakan acara bertema Dialog dan Sharing Wawasan serta Pengalaman dalam Mendukung Kedaulatan Masyarakat Hukum Adat di Riau. Kegiatan ini mengundang narasumber dari Kementerian Dalam Negeri dan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK. Dari Riau, hadir narasumber dari Kelompok Kerja (POKJA) Perhutanan Sosial Provinsi Riau dan Perkumpulan Bahtera alam.
Masyarakat hukum adat sangat penting untuk mendapatkan pengakuan dari Negara agar hak-hak yang dimilikinya seperti hak ulayat dapat dilindungi. Hal ini dikarenakan Masyarakat Hukum Adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Akan tetapi, dalam memperoleh pengakuan, masyarakat harus memenuhi empat syarat yaitu, sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban, sesuai dengan prinsip negara, dan diatur dalam undang-undang. Demikian kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau Dr. Ir. Mamun Murod, MH., saat memberikan kata sambutan sekaligus membuka acara dialog.
Menurutnya, Pemerintah Daerah melalui Lembaga Adat Melayu Riau telah melakukan identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang ada di Provinsi Riau, dan diketahui terdapat kurang lebih 200-an MHA yang ada di Riau.
Plh. Direktur Fasilitasi Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ayu Firman, S.T. dari Kementerian Dalam Negeri hadir sebagai pemateri pertama dalam acara, mempresentasikan Strategi Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Selain itu Kasubdit Penetapan Hutan Adat dan Hutan Hak, Yuli Prasetyo Nugroho, M.Si menyampaikan tema Kebijakan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat.
Joni setiawan Mundung dari Kelompok Kerja (POKJA) Perhutanan Sosial Provinsi Riau, memberikan materi terkait Perkembangan Perhutanan sosial di Riau, dan materi terakhir ditutup oleh Harry Oktavian dari Perkumpulan Bahtera alam dengan mengusung tema Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat di Riau.
Harry Oktavian mengungkapkan bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan satu-satunya kabupaten di Riau yang memiliki Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Pada Januari 2023, Bupati Kepulauan Meranti mengesahkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Perda ini menjadi satu-satunya Perda yang mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kepulauan Meranti,” ujarnya.
Acara ini selain dihadiri oleh Pemerintah Daerah Riau, dihadiri pula oleh para pihak yaitu dari pemerintah kabupaten (Kampar, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Inderagiri Hulu, Siak), akademisi (Universitas Lancang Kuning), beberapa NGO, dan perwakilan dari lima komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ada di Riau.
Akhir acara, para narasumber mendapatkan cenderamata dari Perkumpulan Bahtera Alam berupa tudung saji yang merupakan asli buatan tangan dari pengrajin Perempuan Adat Kenegerian Petapahan, Kampar. [Mom/BA]
108