Bahtera Alam [Penulis : Selasih] – Masyarakat adat Suku Sakai di Provinsi Riau adalah salah satu kelompok etnis pribumi yang mendiami wilayah tersebut. Mereka memiliki karakteristik budaya dan adat istiadat yang khas, meskipun, seperti yang sering terjadi dengan suku-suku pribumi, mereka menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan tradisi mereka karena dampak modernisasi dan perubahan lingkungan.
Suku Sakai di Riau dahulu umumnya hidup di hutan-hutan pedalaman dan bermukim tidak jauh dari sungai, mereka memiliki gaya hidup yang sangat tradisional, bergantung pada pengetahuan tentang alam dan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Mereka adalah pemburu, pengumpul, dan peramu yang terampil. Suku Sakai memiliki struktur sosial yang didasarkan pada keluarga dan komunitas yang kuat. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang sering berpindah-pindah di hutan.
Bahasa Sakai adalah bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sehari-hari di dalam komunitas, mereka memiliki tradisi lisan yang kuat, dengan cerita-cerita, nyanyian, dan lagu-lagu tradisional. Selain itu mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang pengobatan tradisional dan penggunaan tanaman obat-obatan. Mereka memanfaatkan sumber daya alam untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan cedera.
Seperti banyak suku pribumi di seluruh dunia, Suku Sakai di Riau menghadapi berbagai ancaman terhadap budaya dan gaya hidup tradisional mereka. Deforestasi, urbanisasi, dan perubahan lingkungan telah mengurangi wilayah hutan mereka. Selain itu, modernisasi telah mempengaruhi cara hidup termasuk pengaruh bahasa dan budaya luar.
Peran perempuan adat Suku Sakai dalam mempertahankan budaya dan adat istiadat memiliki peran penting, perempuan adat aktif terlibat dalam gelar (perhelatan) budaya dan adat istiadat yang ada di desa atau kampung mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan adat Suku Sakai Batin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis.

Perempuan Adat Suku Sakai Batin Sobanga aktif dalam berbagai kegiatan di Desa Kesumbo Ampai, dan tetap menjaga tradisi dan adat istiadat di dalam komunitas mereka [Sumber : Bahtera Alam]
Perempuan adat berperan dalam mendorong terjaganya nilai-nilai budaya dan adat istiadat Suku Sakai, saat ini kebiasaan itu masih terus diterapkan demi menjaga kelestarian budaya dan adat tradisional mereka, meskipun ada beberapa tradisi yang kemudian berubah karena pengaruh agama dan pergantian zaman. Dalam mempersiapkan gelar acara pernikahan, perempuan adat terlibat langsung mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari hiasan, riasan, dan sajian.
Pada dasarnya perempuan adat memiliki peran lebih jauh sebelum para petinggi adat ikut serta dalam pengambilan keputusan, sebab perempuan adat Suku Sakai akan melakukan runding (berdiskusi) bersama keluarga besar dan ninik mamak mengenai segala hal kebutuhan yang diperlukan, termasuk syarat-syarat tertentu seperti tanggal dan hari pernikahan.
Perempuan adat Suku Sakai memiliki ruang tersendiri dalam mempersiapkan prosesi pernikahan, penyelenggaraan dipersiapkan secara bersama-sama dengan pembagian tugas yang baik demi suksesnya sebuah acara. Mulai dari bagian membuat hiasan dekorasi yang umumnya menggunakan anyaman daun kopau/kepau dan rotan, kelengkapan tepak sirih, riasan dan pakaian pengantin, persiapan masak-memasak hingga menyajikan makanan tradisional, hingga rencana mengundang tetua adat, tokoh desa, dan karib kerabat Suku Sakai.
Namun, beberapa bahan yang diperlukan dalam kegiatan adat – misalnya dalam gelar acara pernikahan ini – tetap dipersiapkan oleh kaum laki laki seperti mencari rotan di hutan dan beberapa bahan perhelatan adat yang digunakan pada kegiatan acara tersebut.
Semenjak Islam disebarkan oleh seorang Syech dari Rokan (Abdul Wahab Rokan) pada 1916 di komunitas Sakai, pengaruh animisme (atau Agama Pebatin, menurut Batin Nasir) semakin melemah, sehingga pengaruh Islam menjadi semakin kuat. Saat ini, sebagian besar adat istiadat di dalam masyarakat adat Suku Sakai khususnya Suku Sakai Batin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai sudah berubah dan mengacu pada adat istiadat Melayu dan hukum Islam, contohnya seperti kegiatan dan ritual Bedikie (ritual pengobatan tradisional), seiring berjalannya waktu, ritual ini tidak lagi dilakukan masyarakat Sakai. Saat ini perempuan adat di Desa Kesumbo Ampai aktif dalam kegiatan wirid atau pengajian setiap hari Jumat.
Selain itu, dampak modernisasi juga telah merubah kebiasaan masyarakat Sakai dalam mengobati penyakit, dahulu mereka berobat ke bomo (dukun), sekarang sebagian besar mereka berobat ke dokter (ke puskesmas atau rumah sakit). Tetapi perempuan adat Suku Sakai Batin Sobanga saat ini masih memanfaatkan tanaman obat disamping obat-obatan medis untuk menyembuhkan sesuatu penyakit, biasanya tanaman obat bisa ditemukan di hutan adat Imbo Ayo.
Perempuan adat Sakai masih memelihara pengetahuan tradisional seperti membuat tas tradisional dari kulit kayu, namun tas hanya dibuat dan dipamerkan pada saat acara-acara tertentu.
Makanan Tradisional Ubi Mengalo
Suku Sakai memiliki makanan tradisional yang sangat khas disebut ubi mengalo. Makanan ini menjadi salah satu makanan pokok masyarakat Sakai sebelum mengenal beras. Makanan tradisional ini dibuat dari ubi racun (mengalo) yang diolah sedemikian rupa hingga menjadi penganan khas Sakai dengan cita rasa yang unik. Bahan baku ubi mengalo mudah ditemukan, perawatannya mudah, dan tidak disukai hewan babi karena kandungan asam sianidanya.

Ubi Mengalo, bahan pokok untuk mengolah makanan khas Sakai mengalo. [Sumber : istimewa]
Tetapi perempuan adat di Desa Batin Sobanga jika ingin mendapatkan ubi mengalo ini adalah dengan mendatangkan atau membeli dari daerah Duri atau dari luar desa, karena saat ini sedikit sekali masyarakat Sakai yang membudidayakan ubi mengalo.
Ubi yang telah dipanen/dipersiapkan dibersihkan terlebih dahulu kemudian direndam di aliran sungai selama beberapa hari untuk menghilangkan racunnya. Setelah itu ubi diparut dan diperas untuk menghilangkan kadar airnya, lalu disangrai (dimasak tanpa minyak) sampai hasilnya berupa butiran serbuk menyerupai kerak nasi atau tepung kasar. Ubi mengalo menyajikannya bisa dicampur dengan gula pasir ataupun parutan kelapa. Cita rasa mengalo agak hambar dan sedikit apek. Penganan ini bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama.

Ubi mengalo yang sudah diolah menjadi penganan khas Sakai. Mengalo bisa dicampur dengan gula pasir dan parutan kelapa untuk menambah cita rasa [Sumber : Bahtera Alam]
Penganan khas mengalo ini adalah tradisi kuliner turun temurun masyarakat Sakai, perempuan adat Sakai tetap melestarikannya dengan menurunkan pengetahuan mengolah ubi mengalo kepada generasi berikutnya, termasuk mempertahankan cita rasa khas mengalo. [editor : mom/BA]
