Workshop Inisiatif Kolaborasi Pengelolaan Hutan Melalui Whakatane

Posted By admin on Jun 2, 2018


BENGKULU, BAHTERA ALAM – Pada tanggal 2 Juni lalu, Akar Foundation bekerjasama dengan Bahtera Alam melaksanakan kegiatan Workshop Inisiatif Kolaborasi Pengelolaan Hutan Melalui Mekanisme Whakatane di Kota Bengkulu. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan awal yang telah disusun oleh Akar dan Bahtera Alam untuk memulai inisitaif mekanisme whakatane di Indonesia, khususnya di Bengkulu. Sebelum kegiatan workshop ini diselenggarakan, Akar melakukan serial meeting kepada beberapa instansi yang berkaitan dengan wacana whakatane di Provinsi Bengkulu yakni Pihak Balai Besar TNKS Wilayah III Sumsel-Bengkulu di Kabupaten Rejang Lebong dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu di Kota Bengkulu.

Workshop yang berlangsung selama satu hari ini dihadiri oleh 25 orang peserta yang berasal dari desa Talang Donok Kecamatan Topos Kabupaten Lebong, DLH Kabupaten Lebong, DLHK Provinsi Bengkulu, Direktur BPEE-KSDAE KLHK RI, serta beberapa NGO lokal dan media Kota Bengkulu.

Kegiatan workshop tersebut diawali dengan perkenalan antar para peserta kemudian sambutan dari Direktur Bahtera Alam Harry Oktavian, sekaligus memberikan pengantar workshop yang bertujuan untuk memberikan gambaran awal mengenai mekanisme whakatane, tujuan, serta bentuk kegiatan whakatane.

“Mekanisme whakatane pada dasarnya bertujuan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki keadaan masyarakat adat dan masyarakat setempat yang pernah atau sedang menghadapi dampak negatif yang melanggar hak-hak mereka karena keberadaan kawasan konservasi di wilayah mereka,” kata Harry.

Mekanisme whakatane ini merupakan dorongan untuk paradigma konservasi baru yakni kawasan dan praktik-praktik konservasi harus menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal sesuai dengan UNDRIP. Dan masyarakat harus dilibatkan secara penuh dan komprehensif dalam pembangunan dan implementasi kebijakan konservasi. Demikian ujarnya.

“Selain itu, tujuan dari mekanisme whakatane ini adalah menilai situasi di kawasan konservasi di mana ada dampak negatif yang diterima oleh masyarakat setempat. Kemudian membangun solusi bersama semua pihak dan menjalankan solusi secara bersama-sama serta mendukung kerjasama antara masyarakat, pemerintah, badan-badan konservasi (nasional dan internasional) serta LSM,” ungkap Harry.

Fokus whakatane ini adalah dialog dan kerjasama, pembagian pengalaman, musyawarah, konsultasi untuk mencari penyelesaian yang bisa diterima semua pihak. Proses menuju mekanisme whakatane ini merupakan sebuah advokasi yang panjang, sehingga dibutuhkan persiapan yang cukup matang. Tahapan persiapan ini mencakup aktivitas pendokumentasian paraktik-praktik, hak-hak, kebudayaan, penggunaan lahan, sejarah, organisasi/struktur sosial, riwayat konflik dengan kawasan konservasi termasuk proses pemetaan secara partisipatif. Demikian imbuhnya.

“Inti dari proses atau mekanisme whakatane ini adalah mereduksi konflik yang terjadi di antara masyarakat adat/lokal dengan para pihak yang bersangkutan. Caranya adalah dengan tidak merugikan dan mengedepankan hak-hak masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut para pihak ini harus diberikan pengetahuan mengenai dasar-dasar hak, FPIC, dan mekanisme whakatane itu sendiri. Dan kunci agar proses ini dapat terlaksana adalah dengan membangun kepercayaan satu sama lain,” kata Harry menutup paparannya.

Hadir dalam workshop memberikan presentasi adalah Kasubdit Koridor dan Area Bernilai Konservasi Tinggi Ditjen KSDAE Mirawati Soedjono, Dosen Ilmu Kehutanan Universitas Bengkulu Hery Suhartoyo, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lebong Nasip Irianto, Kepala Bagian Ekonomi dan SDA Pemda Lebong Gusrineldi, dan Kepala Dinas LHK Provinsi Bengkulu Agus Priambudi. [BA-MM/DN]

216

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *