Bahtera Alam – Tujuh likow atau tujuh likur merupakan salah satu ritual di komunitas Suku Akit yang memiliki singgungan dengan Islam. Acara tujuh likur bertepatan dengan dua puluh tujuh Ramadhan kalender hijriah. Kalangan umat Islam di Pulau Jawa meyakini pada malam-malam ganjil akhir Ramadhan terutama malam 25, 27, atau 29 merupakan malam yang baik atau Lailatul Qodar. Maka di sebagian kalangan umat Islam, pada malam-malam itu mereka akan mengadakan kenduri di masjid, membawa sedekah makanan secara bergantian, untuk dinikmati bersama setelah salat Tarawih.
Sepertinya Suku Akit juga meyakini tujuh likow merupakan hari yang baik untuk melakukan ritual keagamaan dan berkumpul dengan keluarga. Sehingga tujuh likow dipercaya sebagai hari rayanya Suku Akit. Bedanya dengan kepercayaan umat Islam, pada Suku Akit tujuh likow merupakan suatu ritual menyambut arwah pulang ke rumah dengan cara menyediakan sesajen kepada arwah. Acara tujuh likow masih dipercaya dan dirayakan oleh masyarakat Suku Akit, salah satunya di Desa Bungur.

Tujuh likow dapat disebut juga sebagai kenduri arwah bagi masyarakat Suku Akit yang diadakan pada malam ke-27 bulan Ramadhan. Malam tujuh likow dilakukan untuk bertemu dengan arwah leluhur, di mana masyarakat mendoakan para leluhur pada malam itu. Masyarakat Suku Akit meyakini pada malam itu ruh para leluhur datang ke rumah mereka. Malam tujuh likow dilakukan oleh keturunan yang sudah tidak memiliki orang tua/ ibu/ bapak/ nenek dan tidak boleh dilakukan oleh orang yang masih memiliki orang tua/ nenek.
Malam tujuh likow diadakan pada satu malam, dan masyarakat sudah akan sibuk mempersiapkan segala hal sejak siang hari (hari ke 26 Ramadhan). Persiapan yang dilakukan masyarakat untuk leluhur adalah memasak/ memberikan makanan yang disukai leluhur mereka ketika masih hidup. Misalnya, ketika masih hidup leluhur tersebut menyukai sambal belacan, maka anak keturunannya akan memasak sambal belacan untuk sajian yang akan diberikan kepada leluhur.
Malam tujuh likow diawali dengan sembahyang memberikan sajian kepada arwah leluhur di depan rumah masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan kunjungan (berlebaran) dari rumah ke rumah secara berurutan, mulai dari tokoh atau orang yang paling tua. Dalam melaksanakan malam tujuh likow terdapat beberapa pantangan, seperti tidak boleh memarahi atau memukul anak-anak, tidak boleh berkelahi antara suami istri, tidak boleh berutang, tidak boleh memakan babi, dan hanya memakan makanan bersih pada malam tersebut.
Di Desa Selat Akar, tradisi ini disebut pitu likur, tetapi hanya dilakukan oleh Suku Akit yang ingin merayakan saja, bukan acara massal yang terorganisir. Begitu juga di Desa Lukit dan Mekar Sari, ritual khas tujuh likow ini masih dilaksanakan pada hari ke-27 bulan Ramadhan, dan masih diwariskan ke generasi berikutnya.
Sumber : Buku Semburat Akit – Melukis Cerita di Kepulauan Meranti-2024
