Bahtera Alam – Pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat merupakan langkah penting dalam mewujudkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Masyarakat adat telah hidup turun-temurun di wilayahnya sendiri dengan sistem pengetahuan, hukum, dan kearifan lokal yang sangat kaya. Mereka menjaga alam bukan hanya sebagai sumber daya, melainkan sebagai bagian dari identitas dan kehidupan spiritual mereka. Oleh karena itu, pengakuan terhadap eksistensi mereka bukan hanya persoalan legalitas, tapi juga penghormatan terhadap sejarah dan hak asasi manusia.

Selama puluhan tahun, banyak komunitas adat di Indonesia mengalami marginalisasi karena tidak diakuinya keberadaan mereka secara formal oleh negara. Tanpa pengakuan ini, mereka menjadi rentan terhadap konflik lahan, kriminalisasi, dan penggusuran. Padahal, dalam banyak kasus, masyarakat adat telah menjaga kawasan hutan jauh lebih efektif daripada model pengelolaan berbasis negara atau swasta. Penelitian menunjukkan bahwa hutan adat yang dikelola oleh komunitas adat cenderung memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah dibandingkan hutan yang tidak dikelola oleh masyarakat.

Konstitusi Indonesia sebenarnya telah membuka ruang untuk pengakuan masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 juga menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, melainkan milik masyarakat hukum adat.

Namun, dalam praktiknya, proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk hutan adat, berjalan sangat lambat dan penuh tantangan. Banyak pemerintah daerah belum memiliki mekanisme yang jelas untuk mengidentifikasi dan menetapkan keberadaan masyarakat adat. Selain itu, terdapat kepentingan ekonomi dan politik yang kerap kali menimbulkan hambatan dalam proses ini, terutama ketika wilayah adat bersinggungan dengan konsesi perusahaan atau proyek infrastruktur berskala besar.

Pengakuan formal oleh pemerintah sangat penting karena memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan wilayahnya. Dengan pengakuan tersebut, masyarakat adat memperoleh legitimasi untuk mengelola dan melindungi hutan adat mereka sesuai dengan hukum adat dan nilai-nilai lokal. Hal ini juga dapat meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses pembangunan serta membuka akses terhadap berbagai program pemberdayaan, termasuk skema perhutanan sosial dan pendanaan lingkungan.

Lebih jauh lagi, pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat berkontribusi besar terhadap upaya mitigasi perubahan iklim. Dengan mempertahankan hutan-hutan adat sebagai kawasan konservasi berbasis komunitas, Indonesia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan. Ini menjadi salah satu kunci penting dalam pencapaian komitmen iklim nasional (NDC) dan target-target global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengambil langkah lebih konkret dan progresif dalam mengakui keberadaan masyarakat adat dan hutan adat. Kebijakan afirmatif, penguatan kelembagaan, pendanaan yang memadai, serta pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan harus menjadi prioritas. Pengakuan bukan hanya tentang memberikan hak, tetapi juga membangun kepercayaan dan kemitraan yang setara antara negara dan masyarakat adat demi masa depan yang adil, lestari, dan berdaulat. [mom/BA]
28 