Menguatkan Eksistensi Masyarakat Adat dalam Perdagangan Karbon

Posted By admin on Dec 3, 2025


Bahtera Alam – Perdagangan karbon dalam skema REDD+ menempatkan hutan sebagai sumber jasa lingkungan yang memiliki nilai ekonomi. Dalam konteks ini, keberadaan dan peran Masyarakat Hukum Adat (MHA) menjadi sangat penting. Merekalah yang selama turun-temurun menjaga, mengelola, serta melindungi kawasan hutan melalui pengetahuan lokal, aturan adat, dan praktik tradisional yang terbukti menjaga kelestarian. Karena itu, skema REDD+ tidak dapat dipisahkan dari kontribusi MHA. Negara wajib memastikan bahwa manfaat dari perdagangan karbon tidak hanya masuk ke kas negara, tetapi juga dirasakan oleh MHA sebagai pihak yang menjaga hutan secara langsung.

Hak-hak MHA dalam kerangka REDD+ memiliki landasan kuat dalam hukum nasional maupun standar internasional. Di Indonesia, berbagai regulasi seperti UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tentang Kehutanan, Putusan MK 35/2012, serta Peraturan Menteri LHK tentang Pembagian Manfaat dalam Perhutanan Sosial dan REDD+ memberikan pengakuan atas keberadaan, wilayah, dan peran MHA. Hak yang paling mendasar meliputi hak atas pengakuan identitas, hak atas wilayah adat, hak mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, serta hak memperoleh manfaat ekonomi dari jasa lingkungan yang dihasilkan dari wilayahnya.

Dalam konteks pembagian manfaat (benefit sharing), negara berkewajiban memastikan bahwa MHA menerima insentif yang proporsional dari setiap skema perdagangan karbon yang melibatkan wilayah adat atau hutan yang mereka kelola. Prinsip free, prior and informed consent (FPIC) harus diterapkan untuk memastikan bahwa MHA memahami, menyetujui, dan terlibat penuh dalam setiap rencana yang berdampak pada wilayah adat mereka. Tanpa pemenuhan prinsip ini, keterlibatan MHA berpotensi hanya menjadi formalitas dan tidak mencerminkan keadilan.

Selain itu, negara wajib memenuhi hak partisipasi MHA dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring kegiatan REDD+. MHA harus dilibatkan secara bermakna dalam penyusunan rencana kerja, pemetaan batas wilayah, penetapan mekanisme pengawasan, dan evaluasi dampak sosial maupun lingkungan. Hal ini penting untuk mencegah konflik, menghindari marginalisasi, serta memastikan bahwa praktik adat yang melindungi hutan tetap dihormati dan tidak digantikan oleh skema teknokratis yang mengabaikan kearifan lokal.

Hak berikutnya adalah hak atas perlindungan hukum dan kelembagaan, termasuk penguatan struktur adat, lembaga kampung, dan organisasi masyarakat adat. Pengakuan formal melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah menjadi kunci untuk menjamin kepastian hukum wilayah adat. Tanpa dokumen pengakuan ini, MHA akan semakin rentan terhadap perampasan tanah, ekspansi perusahaan, maupun kebijakan yang mengabaikan hak adat.

Perkumpulan Bahtera Alam memandang bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah yang lebih kuat dan komprehensif untuk melindungi eksistensi MHA dari berbagai sisi. Pertama, pemerintah harus mempercepat proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat melalui peraturan daerah ataupun keputusan bupati/gubernur. Pengakuan ini merupakan dasar bagi MHA untuk mendapatkan manfaat dari skema REDD+ dan mekanisme perdagangan karbon lainnya.

Kedua, pemerintah harus memperkuat mekanisme perlindungan hukum dan HAM bagi masyarakat adat, termasuk perlindungan dari kriminalisasi, intimidasi, atau konflik tenurial dengan perusahaan. Selama konflik lahan dibiarkan, keterlibatan MHA dalam menjaga hutan akan sulit terjamin, dan manfaat perdagangan karbon akan timpang serta tidak berkeadilan. Bahtera Alam juga menilai bahwa penyelesaian konflik lahan harus menjadi bagian integral dari agenda perubahan iklim.

Ketiga, pemerintah perlu mendukung penguatan kapasitas MHA dalam pemetaan partisipatif, tata kelola kelembagaan adat, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan pemahaman terhadap mekanisme karbon. Tanpa kapasitas yang memadai, MHA akan sulit bernegosiasi secara adil atau terlibat dalam diskusi teknis terkait REDD+. Kapasitas yang kuat akan memperkuat posisi MHA sebagai subjek utama pelestarian hutan, bukan sekadar objek program.

Keempat, pemerintah harus memastikan bahwa skema pembagian manfaat (benefit sharing) benar-benar transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat adat. Perkumpulan Bahtera Alam menegaskan bahwa manfaat harus mengalir langsung ke masyarakat adat, baik dalam bentuk dana, program pemberdayaan, penguatan kelembagaan, maupun dukungan ekonomi berkelanjutan. Dengan cara ini, MHA tidak hanya menjadi penjaga hutan, tetapi juga penerima manfaat yang layak atas kontribusi mereka dalam mitigasi perubahan iklim. [Oleh : Tim Bahtera Alam ~]

 

6

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *