Sebuah Pengantar
Hutan bukan sekadar hamparan kayu dan pohon — bagi masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia, hutan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan: sumber mata pencaharian, penopang budaya, sekaligus benteng terhadap krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan harus menegaskan komitmen terhadap hak asasi manusia, keanekaragaman hayati, dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini diperlukan sebuah kerangka dan mekanisme global yang mampu memastikan bahwa pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada produksi, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan, perlindungan lingkungan, serta penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Forest Stewardship Council (FSC) adalah organisasi internasional independen dan nirlaba yang bertujuan mendorong pengelolaan hutan secara bertanggung jawab dengan menyeimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, melalui penetapan standar global serta sistem sertifikasi yang memastikan hutan dikelola secara lestari, hak-hak masyarakat adat dan pekerja hutan dihormati, serta produk kayu dan non-kayu yang beredar di pasar berasal dari sumber yang legal, berkelanjutan, dan dapat ditelusuri.
Melalui sertifikasi FSC, dunia memilki kerangka global untuk mendorong pengelolaan hutan yang “bertanggung jawab, sosial manfaat, dan ramah lingkungan.” Namun seperti halnya sistem apa pun, penyalahgunaan atau pelanggaran bisa terjadi — terutama ketika kepentingan ekonomi mengabaikan hak masyarakat, konservasi, dan tata kelola adil.
Untuk itu, muncul kebijakan baru dari FSC, yaitu FSC Remedy Framework — sebuah mekanisme perbaikan dan pemulihan bagi perusahaan yang pernah melakukan pelanggaran: perusakan hutan, konversi hutan, pelanggaran hak masyarakat, maupun kerusakan ekosistem dan sosial. Melalui proses ini, perusahaan harus mampu memperbaiki dampak masa lalu dengan konservasi, restitusi, dan kompensasi — asalkan komunitas terdampak diberikan ruang penuh untuk bersuara dan mengambil keputusan secara bebas, sebelum, dan berdasarkan informasi yang memadai.
Bagi Indonesia — khususnya di Riau — kebijakan remediasi ini menjadi harapan baru dalam pemulihan hak dan lingkungan. Hal ini membuka peluang nyata bahwa kerusakan yang dahulu terjadi akibat konversi hutan dan investasi industri tidak hanya dapat diperbaiki secara ekologis, tetapi juga diikuti dengan pemulihan hak serta penegakan keadilan bagi masyarakat adat. Pemulihan/remediasi bukan sekadar kata, melainkan kesempatan untuk membangun kembali kepercayaan, memulihkan lanskap hutan, serta melindungi masa depan generasi.
Melalui penerbitan terjemahan dan penjelasan lokal atas kerangka kerja ini — seperti panduan yang dikembangkan bersama oleh FSC dan mitra lokal — kami berharap agar masyarakat luas, pemangku kepentingan, dan pembuat kebijakan dapat memahami, mengawal, dan menggunakan peluang ini secara aktif demi terciptanya pengelolaan hutan yang adil, lestari, dan manusiawi.
Kerangka Kerja Remedi Forest Stewardship Council (FSC)
4 