Bahtera Alam – Provinsi Riau saat ini sedang bergerak menuju arah pembangunan hijau melalui berbagai inisiatif, salah satunya program GREEN for Riau. Salah satu langkah penting yang sedang diperkenalkan adalah penggunaan ART-TREES sebagai standar internasional untuk mendukung implementasi REDD+ berbasis yurisdiksi. Lalu, apa sebenarnya arti istilah ini dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat adat serta lokal di Riau?
REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation plus. Program ini merupakan upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara mencegah deforestasi, degradasi hutan, mendorong konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, serta peningkatan cadangan karbon. Dengan kata lain, REDD+ mendorong agar hutan tetap lestari sehingga bisa menyerap karbon dan menekan dampak perubahan iklim.
Untuk memastikan hasil pengurangan emisi dapat diukur dengan benar, dunia internasional membutuhkan sistem standar. Di sinilah ART-TREES hadir, dan ART-TREES sendiri adalah sebuah perusahaan yang memiliki lisensi dan metodologi penghitungan karbon kredit terkemuka di dunia. ART-TREES singkatan dari Architecture for REDD+ Transactions – The REDD+ Environmental Excellence Standard. ART-TREES berfungsi sebagai alat ukur dan verifikasi agar pengurangan emisi di suatu wilayah bisa diakui secara kredibel, bahkan hingga ke pasar karbon global.
Istilah berbasis yurisdiksi berarti implementasi REDD+ tidak lagi hanya dilaksanakan dalam skala proyek kecil, misalnya di satu perusahaan atau satu desa, melainkan dalam skala wilayah pemerintahan resmi seperti provinsi atau kabupaten. Dalam konteks Riau, hal ini berarti seluruh kebijakan dan kontribusi pengurangan emisi dihitung pada level provinsi, dengan melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat adat.
Bagi masyarakat adat dan lokal di Riau, pendekatan ini memiliki arti penting. Hutan adat, hutan desa, dan wilayah kelola masyarakat menjadi bagian dari perhitungan pengurangan emisi provinsi. Artinya, peran masyarakat dalam menjaga hutan dan menerapkan kearifan lokal ikut memberikan kontribusi besar terhadap pencapaian target emisi rendah.

Jika sistem ini berjalan dengan baik, masyarakat adat berpeluang mendapat manfaat langsung. Melalui mekanisme pembagian manfaat atau benefit sharing, sebagian dari keuntungan yang diperoleh dari kredit karbon dapat dikembalikan kepada masyarakat yang menjaga hutan. Selain itu, praktik pengelolaan hutan berbasis adat yang sudah lama dilakukan dapat memperoleh pengakuan resmi sebagai kontribusi penting dalam menjaga lingkungan.
Tidak hanya itu, program ekonomi hijau seperti GREEN for Riau juga bisa membuka jalan bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan. Misalnya, pengelolaan hasil hutan bukan kayu seperti madu, rotan, dan tanaman obat, pengembangan ekowisata berbasis adat, hingga agroforestri. Semua ini dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Namun, peluang tersebut juga dibarengi dengan sejumlah tantangan. Karena REDD+ berbasis yurisdiksi dikelola dari level provinsi, ada risiko keputusan lebih banyak diambil secara top-down tanpa melibatkan masyarakat secara penuh. Jika hak masyarakat adat atas wilayahnya belum diakui secara hukum, kontribusi mereka bisa saja diklaim oleh pihak lain. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian manfaat.
Selain itu, tanpa mekanisme pembagian manfaat yang transparan, keuntungan dari perdagangan karbon bisa berhenti di level pemerintah atau mitra proyek, tanpa benar-benar sampai ke masyarakat di lapangan. Ada juga potensi pembatasan akses masyarakat terhadap hutan jika orientasi utama terlalu menekankan pada angka pengurangan emisi semata.
Karena itu, ada beberapa hal strategis yang perlu diperhatikan. Pertama, masyarakat adat harus dilibatkan sejak awal dalam perencanaan REDD+ berbasis yurisdiksi. Kedua, percepatan pengakuan hutan adat menjadi penting agar posisi masyarakat jelas dan terlindungi dalam sistem ART-TREES. Ketiga, perlu ada pendampingan agar masyarakat memahami konsep karbon, sistem MRV (pengukuran, pelaporan, verifikasi), serta cara memperjuangkan hak mereka.
Jika prinsip-prinsip tersebut dipenuhi, maka kehadiran ART-TREES tidak hanya menjadi standar teknis semata, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan, perlindungan, dan manfaat ekonomi yang adil. Hal ini sejalan dengan semangat GREEN for Riau yang mengusung pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan demikian, pengenalan ART-TREES untuk implementasi REDD+ berbasis yurisdiksi bukan hanya isu teknis global, melainkan juga persoalan keadilan sosial dan hak masyarakat adat di tingkat lokal. Jika dikelola dengan baik dan transparan, Riau bukan hanya mampu berkontribusi pada penurunan emisi dunia, tetapi juga memastikan masyarakat adat dan lokal merasakan manfaat nyata dari upaya menjaga hutan dan bumi. [mom/BA/~]
29 