Hutan Sebagai Tabungan Karbon

Posted By admin on Nov 27, 2025


Bahtera Alam – Hutan alam adalah paru-paru dunia. Di dalamnya tersimpan kehidupan, udara bersih, sumber air, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Namun, ada satu hal penting yang sering tidak terlihat mata: hutan juga menyimpan cadangan karbon. Karbon ini tersimpan di batang pohon, daun, akar, hingga tanah, hasil dari proses fotosintesis selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Cadangan karbon ibarat “tabungan” bumi. Saat hutan tetap utuh, karbon itu aman tersimpan di alam. Tetapi begitu pohon ditebang, dibakar, atau hutan dibuka untuk perkebunan dan tambang, tabungan itu pecah. Karbon yang tersimpan lepas ke udara dalam bentuk gas karbon dioksida (CO₂) — salah satu gas rumah kaca utama yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Proses hilangnya tutupan hutan ini disebut deforestasi. Semakin luas hutan yang terdeforestrasi, semakin besar pula emisi CO₂ yang dilepaskan ke atmosfer. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, memiliki peran besar dalam menjaga agar emisi dari deforestasi tidak semakin meningkat.

Masalahnya, tekanan terhadap hutan terus meningkat. Pembukaan lahan, pembangunan, dan kebutuhan ekonomi membuat banyak kawasan hutan terancam hilang. Semakin tinggi risikonya, semakin besar pula potensi hutan itu akan rusak atau hilang di masa depan. Jika hal ini terus terjadi, dunia akan kehilangan salah satu benteng alami dalam menahan laju perubahan iklim.

Untuk menjawab tantangan ini, dunia kemudian melahirkan sebuah inisiatif global bernama REDD+, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation plus. Tujuannya sederhana tapi besar: mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus memberikan nilai ekonomi bagi upaya menjaga dan memulihkan hutan.

Melalui REDD+, menjaga hutan tidak lagi sekadar kewajiban moral atau lingkungan, tetapi juga menjadi bagian dari solusi iklim dunia. Negara, daerah, atau bahkan komunitas adat yang berhasil menurunkan angka kehilangan hutan dapat memperoleh dukungan dan insentif — karena mereka ikut menyelamatkan bumi dari pemanasan global.

Program ini juga membuka ruang bagi masyarakat adat untuk diakui perannya. Sebab, di banyak tempat, hutan adat justru terjaga karena pengetahuan dan aturan adat yang diwariskan turun-temurun. Ketika masyarakat adat menjaga hutan mereka, sesungguhnya mereka sedang berkontribusi langsung pada pengurangan emisi karbon global.

Bagi organisasi seperti Perkumpulan Bahtera Alam, pemahaman tentang REDD+ penting untuk memperkuat kerja-kerja pendampingan masyarakat adat di Riau. Melalui pendekatan ini, pengelolaan hutan adat tidak hanya dilihat dari sisi sosial dan ekonomi, tetapi juga dari fungsi ekologisnya dalam menyimpan karbon dan menjaga kestabilan iklim.

Upaya seperti inventarisasi keanekaragaman hayati, monitoring hutan adat, dan pembangunan kebun bibit di dalam kawasan adat merupakan langkah nyata Bahtera Alam untuk memastikan bahwa hutan tetap hidup dan produktif tanpa kehilangan nilai ekologisnya. Di kebun bibit, misalnya, para pemuda adat membudidayakan anakan pohon hutan seperti kayu kulim dan jenis langka lainnya — bagian kecil namun penting dalam menjaga cadangan karbon dan keberlanjutan hutan adat.

Hutan yang lestari berarti cadangan karbon tetap terjaga. Dan ketika hutan adat tetap hidup bersama masyarakat yang merawatnya, maka bukan hanya wilayah adat yang terlindungi — tapi juga masa depan bumi yang kita tinggali bersama. [By : Momeye ~ Bahtera Alam].

 

11

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *