Bahtera Alam – Sumber daya alam (SDA) di Indonesia khususnya di Riau dikuasai oleh segelintir pebisinis atau pemodal sehingga manfaat SDA itu sendiri secara substansial belum dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Ini terjadi karena pengelolaan SDA tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Akibat dari belum terpenuhinya prinsip-prinsip itu, akses masyarakat terhadap SDA menjadi sangat rendah, sehingga peran masyarakat dalam pengelolaan SDA menjadi terbatas, termasuk persoalan akses masyarakat terhadap data dan informasi SDA. Lemahnya penegakan hukum juga menjadi persoalan krusial, sehingga hak penguasaan dan pengelolaan SDA oleh para pihak secara berkeadilan menjadi timpang. Mencuatnya konflik SDA terutama konflik tanah/tenurial di sektor kehutanan dan perkebunan menjadi salah satu persoalan pelik dan tidak kunjung usai sejak zaman orde baru hingga kini.
Pengelolaan SDA harusnya berpihak kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, kolaborasi parapihak baik pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sangat diperlukan, dan menjadi jalan menuju pengelolaan SDA yang berkelanjutan serta selaras sehingga memberikan manfaat bagi semua orang.
Perkumpulan Bahtera Alam (PBA) pada periode tahun 2022, telah melakukan banyak kerja nyata demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Aksi dan kegiatan yang mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat masih menjadi yang utama, termasuk mengurai problematika akses masyarakat terhadap sumberdaya alam khususnya Masyarakat Adat yang ada di Riau.
PBA bisa dikatakan menjadi salah satu pionir atau perintis jalan bersama-sama dengan beberapa NGO lainnya, yang fokus mendorong terwujudnya pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat di Provinsi Riau. Kerja-kerja konkrit yang dilakukan PBA sebagai aksi nyata bersama parapihak dalam mewujudkan visi dan misi PBA ternyata bukan hanya retorika. Hal ini terbukti pada 10 November 2022, pemerintah Provinsi Riau mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Imbo Ayo suku Sakai bathin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai, Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Terwujudnya SK pengakuan ini merupakan upaya PBA bersama parapihak yang semangat mendorong meskipun harus melalui sejumlah tahapan dengan proses yang tidak mudah.
Sebelumnya pada akhir tahun 2019, dua SK Hutan Adat di Kampar telah pun diterbitkan oleh negara. Ini merupakan prestasi PBA bersama Tim Kerja Percepatan Pengakuan Hutan Adat Kampar (TKP2HAK) yang berhasil mewujudkan dua pengakuan Hutan Adat di Kabupaten Kampar, yang legalitasnya langsung diserahkan oleh presiden Joko Widodo pada 21 Februari 2020 di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, Kabupaten Siak, Propinsi Riau.
Jalan untuk bisa mencapai pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat kini terbuka lebar, pemerintah RI pada rezim kepemimpinan Presiden Joko Widodo mendukung dengan baik terhadap implementasi peraturan-peraturan dan regulasi terkait Masyarakat Hukum Adat (MHA). Peluang Pengakuan MHA khususnya di Riau berlandaskan pada regulasi atau aturan Nasional sebagai berikut :
• UUD 1945 pasal 18 B (2), pasal 28 I ayat (3);UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
• UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH);
• UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
• Putusan MK No.35/2012 tentang UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
• PermenLHK No. 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup.
Pada tingkat daerah, pemerintah Provinsi Riau mendukung perlindungan dan pengakuan MHA berlandaskan pada regulasi atau aturan sebagai berikut :
• Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
• Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Kampung Adat di Kabupaten Siak;
• Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Desa dan Desa Adat;
• Perda Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 Tentang Tanah Ulayat dan Perda Provinsi Riau No. 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat;
• Keputusan Bupati Kampar Nomor : 660/DLH-IV.2/32 tentang Pembentukan Tim Registrasi Penetapan Masyarakat Hukum Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adat di Kabupaten Kampar pada tanggal 30 April 2018;
• Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Riau;
• Tim Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat.
Asisten I Sekretariat Daerah Provinsi Riau, Masrul Kasmy yang mewakili Gubernur Riau Syamsuar pada September 2022 yang lalu menegaskan komitmen pemerintah daerah terhadap penghormatan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat yang tersebar di Riau.
Dalam pernyataannya, pemerintah daerah telah membentuk tim yang bekerja dalam konteks penyelesaian tanah-tanah ulayat dan tanah adat. Tim ini dilegitimasi oleh Gubenur Riau dalam bentuk SK yang diketuai oleh Masrul Kasmy. Salah satu upaya kerja tim adalah menginventarisir berbagai tanah-tanah ulayat dan tanah adat yang tersebar di Riau dan dicarikan penyelesaiannya secara bertahap.
Pengakuan MHA menginspirasi Komunitas Adat Lainnya
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa PBA selama rentang waktu lima tahun terakhir hingga pada penghujung tahun 2022, ikut mendorong beberapa Komunitas Adat untuk mendapatkan penghormatan dari pemerintah/negara. Khususnya di Riau, parapihak bersama pemerintah daerah telah berhasil mendorong sepuluh Komunitas Adat atau Masyarakat Adat untuk mendapatkan penghormatan tersebut, sepuluh Komunitas Adat tersebut adalah :
• Kenegerian Batu Songgan di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Gajah Bertalut di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Aur Kuning di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Terusan di Kabupaten Kampar;
• kenegerian Petapahan di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Kampa di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Rumbio di Kabupaten Kampar;
• Kenegerian Kuok di Kabupaten Kampar;
• Suku Sakai Bathin Sobanga di Kabupaten Bengkalis, dan;
• Suku Asli Anak Rawa di Kabupaten siak.
Masyarakat Adat yang berasal dari Kenegerian Batu Songgan, Kenegerian Gajah Bertalut, Kenegerian Aur Kuning, dan Kenegerian Terusan berada dalam kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling (BRBB). Sedangkan Masyarakat Adat yang berasal dari Kenegerian Kuok berada dalam kawasan Cagar Alam Bukit Bungkuk. Delapan kenegerian yang berada di Kabupaten Kampar ini, pengakuan MHA-nya telah disahkan atau diterbitkan oleh negara, dan Surat Keputusan (SK) diserahkan langsung oleh Pemerintah RI kepada Masyarakat Adat melalui presiden Joko Widodo pada awal tahun 2020 lalu.
Dua Komunitas Adat di Kabupaten Kampar yang Hutan Adatnya sudah diakui oleh Pemerintah RI adalah Hutan Adat Imbo Putui di Kenegerian Petapahan dan Hutan Adat Pomuan serta Hutan Adat Boncah Lidah di kenegerian Kampa.
Saat ini usulan pengakuan Hutan Adat milik Komunitas Adat Suku Sakai Bathin Sobanga sedang dalam proses pengajuan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia agar bisa mendapat pengakuan dari negara.
Sementara itu Suku Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Siak bersama 8 (delapan) Kampung Adat lainnya sebagai bagian dari Masyarakat Hukum Adat karena masih memegang teguh tradisi dan nilai adat istiadat. Penetapan ini diputuskan dalam SK Bupati Siak no. 469.a/HK/HKPTS/2020. Suku Asli Anak Rawa mendapat pendampingan dari PBA agar bisa diajukan untuk mendapatkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat dari negara, tapi hingga kini kelengkapan dokumen masih berproses di tingkat pemerintah kabupaten.
Capaian yang diraih oleh beberapa Komunitas Adat di Riau dalam bentuk pengakuan telah menginspirasi Komunitas Adat lainnya, dan menjadi penyemangat untuk mengikuti jejak langkah yang sama. Harapan agar terwujud lebih banyak lagi pengakuan dan penghormatan terhadap Komunitas Adat lainnya khususnya di Riau tentu perlu dorongan keras, kerjasama dan sinergi yang baik bersama parapihak, sehingga kekayaan alam dalam bentuk hutan, sungai, dan tanah yang sejak dahulu kala bersebati dengan Masyarakat Adat dapat dimanfaatkan secara adil demi mencapai kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Penulis : nuskan syarif dan mu’ammar hamidy
