[Bahtera Alam] Perhutanan Sosial (PS) adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. (PP. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Ps. 1) (sumber : http://pkps.menlhk.go.id/).
PS merupakan program unggulan dan menjadi fokus utama oleh pemerintah RI khususnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan PS memiliki dua agenda besar yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.
Sebenarnya program PS ini ingin mengubah paradigma bahwa pembangunan tidak hanya dilakukan dari kota, melainkan pembangunan juga dapat dilaksanakan oleh masyarakat pinggiran (masyarakat sekitar hutan). Dalam program PS terdapat tiga pilar dalam pelaksanaannya, yaitu lahan, kesempatan berusaha, dan sumberdaya manusia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan, sampai dengan Agustus 2021 realisasi PS telah mencapai 4.721.389,78 hektar yang terdiri dari 7.212 unit (Data dari Kementerian LHK tahun 2021). Pencapaian tersebut tidak lepas dari kerjasama multipihak mulai dari pemerintah, Pendamping, NGO, swasta dan tentunya peran masyarakat. Tapi dalam proses pengajuan PS boleh dikatakan tidak mudah, banyak dinamika yang ditemukan maka tidak heran antar pihak banyak memiliki trust issue yang berbeda-beda.
Keterbatasan Informasi Perhutanan Sosial
Pemerintah sejatinya memiliki andil besar dalam program PS, karena dari segi hukum dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) serta regulasi juga sangat jelas, akan tetapi pemahaman soal program PS hanya pemerintah pusat yang memiliki kapabilitas yang mumpuni dalam menjelaskan program dan skema PS ini.
Sering kali ditemukan oleh pendamping ketika berhadapan dengan pemerintah daerah, mereka tidak banyak mengetahui tentang skema atau regulasi PS, mereka cenderung takut untuk mendorong masyarakat mengambil skema ini, karena mereka tidak memiliki kapasitas lebih untuk menjelaskan secara sederhana kepada masyarakat.
Disamping soal pengetahuan terkait program PS, keterbatasan sumberdaya atau pendanaan yang dimiliki pemerintah daerah juga sangat terbatas. Umumnya budgeting sudah dianggarkan pada masing-masing program sehingga tidak dapat digunakan atau dialihkan pada program lain termasuk dalam hal biaya pendampingan ataupun sosialisasi program.
Ketidakharmonisan Antar Pendamping/NGO
Di Riau banyak berdiri lembaga atau organisasi non-pemerintah (NGO), baik yang lokal, nasional, maupun internasional. Wilayah Riau yang cukup luas terdiri dari 12 kabupaten/kota memiliki sebaran dampingan yang beragam sesuai dengan misi dan program pekerjaan dari masing-masing NGO tersebut. Dalam berkegiatan dan berjaringan, hubungan antar NGO khususnya di Riau sering di antaranya memiliki hubungan yang tidak harmonis. Kurangnya menghormati etika dalam berkegiatan misalnya soal klaim daerah dampingan menjadi salah satu persoalan yang mencuat. Apabila salah satu NGO melakukan dampingan pada suatu daerah/kawasan, maka NGO lain seakan-akan tidak dibenarkan untuk berkegiatan di daerah/kawasan tersebut. Selain itu soal hubungan tidak baik antar NGO secara personal bisa menjadi perselisihan yang berdampak terhadap citra sebuah lembaga secara keseluruhan. Kemudian juga keberhasilan sebuah lembaga dalam melaksanakan program-programnya yang bergaung secara lokal ataupun nasional, juga bisa memicu rasa iri dari NGO lainnya, sehingga persaingan antar NGO di Riau menjadi tidak sehat.
Perselisihan ini sebenarnya bisa diatasi apabila masing-masing NGO memahami etika dalam berkegiatan seperti mengadakan dialog bersama, berkolaborasi untuk menemukan potensi yang dapat didukung, atau bahkan meminta izin untuk berkegiatan di daerah dampingannya, sehingga potensi ketidakharmonisan antar lembaga bisa diatasi.
Konflik Kepercayaan Antar Masyarakat
Tidak hanya pada NGO, tapi di tingkat tapak atau dalam masyarakat di desa/kampung wujud ketidakharmonisan antar mereka juga cukup terasa. Sekelompok masyarakat ada yang memiliki rasa takut, cemas, dan saling curiga, sehingga saling tidak percaya antara satu dengan lainnya menjadi hal yang lumrah. Kondisi ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian pada masa lalu yang sarat dengan kepentingan. Dalam masyarakat adat yang memiliki aturan-aturan adat bisa berbeda pendapat hingga berselisih paham terkait program PS, misalnya dalam hal pengajuan Hutan Adat. Penyalahgunaan jabatan sebagai pemimpin adat ataupun kepala desa bisa terjadi akibat hasutan dari pihak luar (perusahaan) ataupun dari dalam demi kepentingan pribadi atau kelompok. Oknum masyarakat juga sering bermain mata atau dua kaki dengan pihak perusahaan akibat iming-iming uang, sehingga masalah ini menjadi persoalan mendasar dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga masyarakat adat merugi dari sisi moril maupun materil dan kehilangan kepercayaan kepada pemimpin mereka.
Dibutuhkan Solusi Konkrit
Dari jabaran di atas, banyak dinamika dan permasalahan yang terjadi dalam proses pengajuan skema program PS, maka untuk itu perlu solusi-solusi yang konkrit. Beberapa di antaranya bisa dilakukan lewat komunikasi lintas sektor berupa aksi kolaborasi multi pihak. Kolaborasi bisa terwujud dengan membangkitkan rasa kepercayaan melalui dialog-dialog rutin dan produktif, menanamkan nilai-nilai toleransi demi meminimalisir bibit-bibit konflik, dan membangun kerjasama yang baik berlandaskan pada azas manfaat secara bersama-sama.
Kemudian, permasalahan di tingkat masyarakat tentunya bisa diatasi apabila pada level atas (pemimpin, tokoh masyarakat, pemuka agama, tetua kampung) bisa saling bersinergi sesama mereka untuk memperkuat secara internal pada level di bawahnya, karena bagaimana pun untuk memperkuat atau membuat antar masyarakat itu percaya tidak bisa dengan waktu yang singkat, harus berproses dan membutuhkan tenaga, pikiran, moril, dan materil di samping semangat dan dorongan yang berkesinambungan oleh pendamping-pendamping yang solid di daerah/kawasan tersebut.
Penulis : Hari Novar/Editor : MH
170