Budaya Meramu dan Berburu Suku Sakai, Terkikis Modernisasi

Posted By admin on Jun 20, 2022


Bahtera Alam – Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Suku Sakai khususnya Bathin Sobanga memiliki budaya berburu dan meramu. Berburu dan meramu merupakan pola kehidupan masyarakat adat Suku Sakai sejak dahulu kala, dan dilakukan oleh kaum laki-laki (orang tua, pemuda, dan anak laki-laki yang beranjak dewasa). Orangtua akan mewariskan ilmu berburu dan meramu kepada anak laki-laki mereka agar ketika dewasa kelak memiliki bekal di dalam membangun rumah tangga.

Hewan yang biasa diburu adalah adalah dari jenis rusa, kijang, napuh, kancil, ayam hutan, dan berbagai jenis burung. Biasanya pria dewasa berangkat berburu ditemani anak laki-laki atau bersama kerabat, dan hasil buruan yang berhasil ditangkap akan dibawa pulang ke rumah lalu diolah oleh kaum perempuan untuk dimasak, dijadikan sambal, atau diasapi dan dikeringkan sebagai persediaan makanan untuk beberapa hari ke depan.

Meramu dalam masyarakat adat Suku Sakai salah satunya dilakukan untuk menyiapkan obat bagi yang sakit sebagai pertolongan pertama. Mereka mencari tumbuhan herbal di dalam hutan atau di yang tumbuh di pekarangan rumah kemudian diramu untuk dijadikan obat. Namun apabila pesakit belum juga sembuh setelah diobati mereka meminta tolong kepada Bomo atau dukun kampung. Hingga ini kaum Perempuan Adat masih meramu dengan meracik tanaman obat yang tumbuh atau yang ditanam sendiri di sekitar pekarangan rumah.

Meskipun saat ini sudah ada pengobatan modern dan dokter desa, masyarakat adat Suku Sakai khususnya Bathin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai masih meracik tanaman herbal sebagai alternatif penyembuhan sebelum berobat ke balai pengobatan modern seperti puskesmas atau klinik.

Ada banyak jenis tanaman obat untuk ramuan herbal dan dalam satu penyakit bisa menggunakan 10 hingga 17 jenis bahan ramuan. Jenis tanaman obat yang sering digunakan sebagai ramuan adalah papauh (Evodiaaromatica), sakat (Asplenium nidus), mandi lebah (Globa sp), menaah (Horsfielia majuscula), daun jarum-jarum (Artocarpus rigida), paga-paga (Ixora congesta), daun bani (Xylopia caudata), kayu sapu (Santiria griffthii), mao (Alphonsea javanica), ibu-ibu (Diospyros sumatrana), jangkang (Cyatochaliixmagnificus), lawang (Cinnamomum sp), kakaik (Ziziphus horsfieldii), semponang (Stephania sp), sempongkah (Discorea spp), dan kopau/kepau (Licuala cf. peltata).

Kiri : Bunga Jarum-jarum (Artocarpus rida) dan kanan : Daun Gelinggang Laut [Foto : Bahtera Alam]

Ramuan dari tanaman obat umumnya untuk menyembuhkan sakit demam, tetapi ada ramuan herbal yang dikhususkan untuk mengobati penyakit kulit. Dahulu penyakit kulit seperti panu dan kurap sering dialami oleh kalangan masyarakat Suku Sakai, dan daun Gelinggang/Ketepeng merupakan tanaman obat yang sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit ini. Daun Gelinggang ada dua jenis yaitu Keteng Cina/Gelinggang (Cassia Alata L) dan Gelinggang Laut, kedua jenis tanaman ini sangat ampuh untuk mengobati penyakit kulit. Daun Gelinggang dapat diperoleh dengan mudah karena biasa tumbuh di sekitar pemukiman.

Berburu dan meramu merupakan budaya turun temurun yang melekat dalam kehidupan masyarakat Suku Sakai khususnya Bathin Sobanga, dan budaya ini biasa dilakukan oleh Suku Sakai di dalam kawasan hutan adat yang mereka lindungi dan kelola secara kearifan lokal.

Saat ini budaya berburu sudah tidak bisa lagi dilakukan mengingat menyempitnya kawasan hutan adat Imbo Ayo yang berada di Desa Kesumbo Ampai akibat tekanan industri perkebunan sawit dan HTI. Selain itu hutan adat yang tersisa lebih kurang ± 251 Ha ini memiliki keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya. Namun aktivitas meramu masih dilakukan hingga saat ini dengan tetap memilih dan mempertahankan sejumlah tumbuhan obat yang kategori langka. Budaya meramu Suku Sakai khususnya meracik obat dari tanaman atau tumbuhan alam lambat laun juga akan menghilang mengingat pola pengobatan tradisional akan tergerus oleh pengobatan modern, dan kini bomo atau dukun kampung Suku Sakai yang memiliki kemampuan meramu obat sudah sangat sedikit jumlahnya. Suku Sakai akan kehilangan generasi penerus karena kaum muda Suku Sakai sudah tidak tertarik dengan budaya asli mereka khususnya dalam hal berburu atau meramu.

Penulis : Nuskan Syarif/Editor : Mu’ammar Hamidy

68

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *