[Oleh : Nuskan Syarif] Hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat di kenegerian yang berada di sepanjang DAS Subayang. HHBK ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pendapatan, sumber makanan, dan sumber bibit untuk tanaman. HHBK yang dimanfaatkan terdiri dari HHBK non komersil dan komersil. HHBK yang non komersil biasanya diambil secara langsung di hutan untuk konsumsi keluarga. Terdapat juga beberapa jenis yang dibudidayakan di ladang atau di kebun milik warga, salah satunya adalah tanaman petai.
Tanaman petai tersebar di dalam kawasan hutan adat di tiap kenegerian dan potensinya tidak main-main. Dalam satu musim biasanya setiap pemetik petai (renjer) bisa mendapatkan hasil satu hingga tiga ton per minggu, dan musim puncak berada pada periode Agustus hingga Desember. Jika ditaksir, setiap renjer bisa mengeluarkan buah petai dari hutan sebanyak 500 kg/hari bahkan kadang ada yang mencapai 1000 kg/hari. Pemetik petai atau renjer terdiri dari 2 hingga 6 orang dan hanya terdiri dari orang-orang tertentu saja, mereka bekerjasama dalam tim kecil memetik buah petai dan mengeluarkannya dari hutan untuk dibawa ke desa.
Menariknya, banyak orang dari luar kawasan beranggapan bahwa hasil pohon petai murni berasal dari hutan alam. Sebenarnya petai yang dipanen oleh pemetik petai berasal dari kebun karet tua yang telah kembali menghutan, dan sebagiannya dipetik dari dalam hutan yang tumbuh liar.
Pohon petai yang tumbuh di sepanjang DAS Subayang memiliki keunikan. Konon pohonnya tidak bisa tumbuh tunggal di alam, harus bersama dengan tumbuhan jenis lain di sekelilingnya. Jika tanaman lain di sekeliling pohon petai dibersihkan, maka perlahan pohon petai akan mati. Pengalaman ini diperoleh dari para petani pemetik petai, dan ini memang sungguh terjadi.
Sudah banyak warga yang membuktikan. Sekeliling pohon petai dibersihkan dengan maksud agar pohon petai tumbuh subur dan berbuah lebat, serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Tapi tak lama beberapa hari, pohon petai perlahan mulai meranggas dan akhirnya mati. Demikian ungkap Datuk Pucuk dari Kenegerian Terusan.
Buah petai memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan. Harga buah petai di pasaran sering berubah dan harganya juga berbeda-beda tergantung kualitas. Pantauan pada Juli 2021, Petai kualitas super berada pada kisaran harga Rp.22.000/kg, kualitas menengah pada kisaran harga Rp. 19.000/kg, dan untuk kualitas biasa pada kisaran harga Rp.15.000 hingga Rp.18.000/kg.
Apabila setiap renjer yang mewakili satu desa bisa mengeluarkan buah petai kualitas super dari hutan sekira 500 kg/hari, maka nilainya sama dengan Rp.11.000.000/hari/desa. Masa puncak panen petai bisa hingga 7 bulan, artinya diperkirakan uang yang dihasilkan hanya dari panen buah petai saja bisa mencapai 2,3 milyar lebih setahun. Ada 3 Kenegerian yang warganya sangat aktif dalam memetik buah petai di hutan saat panen, yaitu warga di Desa Gajah Bertalut, Aur Kuning, dan Terusan. [editor : Mom/BA]
