[Oleh : Nuskan Syarif] Dalam membangun atau pemekaran sebuah kenegerian menjadi kenegerian baru, ada salah satu syarat utama yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah adanya pengelolaan boncah umbai atau pandan oleh kaum perempuan adat di kenegerian yang bakal dimekarkan tersebut.
Kenapa pengelolaan tanaman pandan menjadi bagian penting bagi sebuah kenegerian baru? Karena tanaman pandan mempunyai arti yang sangat mendalam, ia merupakan sebuah simbol eksistensi perempuan adat dan bagian penting dalam kelengkapan sebuah bangunan rumah. Daun pandan sebagai bahan baku anyaman umumnya diolah dan dianyam oleh kaum perempuan di kenegerian menjadi tikar. Kaum perempuan adat diketahui mendapat tempat khusus dalam lingkungan masyarakat adat karena memiliki keahlian menganyam, teliti, dan rajin bekerja.
Tanaman pandan dapat tumbuh baik dengan intensitas cahaya matahari penuh di tanah gambut, tanah berkapur dan tanah pesisir dengan kadar garam tinggi, serta tahan terhadap hembusan angin kencang.
Dalam perjalanan pengelolaannya, anyaman daun pandan memiliki berbagai motif yang beragam dan berbagai kegunaan, sesuai dengan bentuk dan keunikan masing-masing. Keterampilan perempuan adat dalam menganyam, menghasilkan berbagai rupa, fungsi, dan kegunaannya. Ada yang dibuat untuk keperluan rumah tangga dan ada untuk keperluan acara-acara adat.
Motif anyaman juga memiliki nama tersendiri, salah satunya disebut motif anyaman Tawang. Motif ini pada ujung-ujung anyaman memiliki aneka bentuk rupa, ada berupa persegi empat, huruf Z, dan lain sebagainya. Selain Tawang, ada juga nama lain untuk motif-motif anyaman tertentu seperti Kibang, Sumpik, dan sejumlah nama lokal lainnya.
Selain soal keterampilan menganyam, perempuan adat di Kekhalifahan Batu Songgan memiliki keunikan dalam menjaga alam dan lingkungannya. Perempuan adat di wilayah ini sejak dulu telah menerapkan zona lindung bagi spesies tumbuhan tertentu, contohnya bagi perlindungan boncah umbai atau tanaman pandan guna menjaga ketersediaan bahan baku anyaman untuk sepanjang masa. Selain itu, beberapa kawasan penting juga dijaga kelestariannya secara bersama seperti area anakan sungai dan perbukitan kecil, di mana pada area tersebut merupakan kawasan tempat tumbuh baik berbagai spesies tanaman penting seperti rotan, petai hutan, jamur, dan jenis tanaman obat serta tanaman pangan atau penghasil buah lainnya.
Dilihat dari cara-cara dan nilai budaya yang dibangun secara kearifan lokal oleh komunitas perempuan adat di Kekhalifahan Batu Songgan, maka secara tidak langsung mereka layak disebut sebagai pejuang lingkungan.
Meskipun kemajuan zaman telah menggerus hasil kreasi barang-barang kerajinan tradisional, seperti kerajinan anyaman tikar pandan atau tikar umbai, tetapi produk-produk sintetis sejenis yang beredar di pasaran tidak bisa menggantikan keunikan produk kerajinan tradisional ini.
Bagi komunitas masyarakat di enam kenegerian luhak Kekhalifahan Batu Songgan, tikar pandan atau tikar umbai adalah produk yang harus dimiliki oleh setiap rumah tangga, karena fungsi utamanya sebagai alas duduk penghuni rumah atau tamu, alas tidur, untuk acara pertemuan, alas ibadah, dan lain sebagainya yang memiliki nilai seni tradisional.
Tergerus kemajuan zaman
Dahulu, hampir semua kaum perempuan di tiap kenegerian aktivitas kesehariannya adalah menganyam tikar. Tetapi sekarang kondisi sudah berubah, di kenegerian terbilang sudah tidak banyak lagi yang menjadi pengrajin anyaman, cuma tinggal sekitar 10% saja. Saat ini, ketertarikan dan kemampuan anak perempuan pada aktivitas kerajinan tradisional seperti menganyam sudah jauh menurun, terutama mereka yang melanjutkan pendidikan di luar daerah. Jika menyusuri kampung, masih dilihat beberapa anak perempuan masih menekuni aktivitas ini, dan hanya untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga sendiri. Apabila nilai budaya ini tidak dipertahankan dan tidak diturunkan kepada generasi berikutnya, dapat dipastikan keterampilan membuat anyaman dari daun pandan secara berangsur akan putus dan punah.
Kenyataan ini sedikit banyak mempengaruhi penggunaan tikar pandan pada sejumlah rumah-rumah di perkampungan. Keadaan ini dipengaruhi pula oleh ketersediaan bahan dasar anyaman yang berada jauh dari kawasan pemukiman, tidak seperti dulu yang mudah didapat karena tumbuh di sekitar kampung.
Dampak yang terjadi, kebutuhan tikar secara perlahan di kampung akan digantikan oleh produk alas duduk buatan pabrik seperti tikar plastik dan permadani karena murah dan tidak sulit didapat.
Ibarat pepatah petitih, ungkapan orang-orang dahulu telah terbukti, bunyinya, “Bakarih sikati muno, patah lai basimpai alun ratak sabuah jadi tuah, jikok dibukak pusako lamo, dibangkik tareh nan tarandam lah banyak ragi nan barubah.” Artinya : Karena banyaknya yang mempengaruhi kebudayaan kita yang datang dari luar, kemurnian budaya dan adat istiadat akhirnya mulai kabur dari masyarakat.
Intrusi kebudayaan dari luar ikut berkontribusi dan bertanggung jawab atas tergerusnya kebudayaan lokal, contohnya pada nilai-nilai budaya ketrampilan menganyam daun pandan tersebut. Generasi penerus dari masyarakat hukum adat terutama perempuan-perempuan muda adat yang tidak peduli dan memalingkan wajah dari keragaman budaya dan seni yang bernilai tinggi, bisa mempercepat proses penggerusan itu.
Kekayaan seni kreatif dari kerajinan tangan tradisional penuh dengan keunikan, dan nilai sosial budayanya sarat dengan tunjuk ajar yang baik. Menjaga tradisi, budaya, dan adat istiadat secara kearifan lokal merupakan langkah penting untuk membentuk kepribadian manusia yang berbudaya, dan merupakan tanggung jawab bersama demi keberlanjutan dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional itu sendiri. Demi memanusiakan manusia. Demi membuat manusia menjadi berbudaya dan berakal budi. Saling menghargai dan menghormati. [Editor : Mu’ammar Hamidy]
