[Oleh : Nuskan Syarif – Tulisan 2] Hutan Adat Imbo Putui saat ini semakin dikenal eksistensinya terutama bagi masyarakat Riau, dimulai sejak penyerahan SK yang diserahkan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat, 21 Februari 2020 lalu, bersamaan dengan Hutan Adat Ghimbo Boncah Lidah di Kenegerian Kampa. Total ada 2 hutan adat di Riau yang saat ini sudah diakui oleh Negara.
Untuk mencapai lokasi hutan larangan ini, maka Imbo Putui atau Desa Petapahan akan bisa dicapai dengan perjalanan darat sekira 1 jam dari Kota Pekanbaru. Jarak tempuh Pekanbaru – Imbo Putui/Desa Petapahan sekira 50 km. Jika menggunakan angkutan umum, maka bus lintas Pekanbaru menuju Medan via Petapahan bisa menjadi pilihan.
Pemetaan kawasan di wilayah adat Kenegerian Petapahan mengungkapkan bahwa saat ini kawasan tersebut telah berdiri banyak kampung/desa, dan mirisnya kawasan desa-desa dimaksud berada dalam lingkup wilayah konsesi milik perusahaan, di sekitar kawasan juga berdiri perusahaan-perusahaan HTI dan sawit.
Diakuinya Hutan Adat Imbo Putui oleh negara merupakan peluang terbaik bagi masyarakat hukum adat untuk mendapatkan hak ruang kelola terhadap eksistensi hutan adat.
Menurut penjelasan tetua adat di kampung, Kenegerian Petapahan memiliki tiga ruang peruntukan dalam pemanfaatan lahan. Pertama, peruntukan untuk manusia/masyarakat yaitu dalam pemanfaatan pemukiman dan perladangan, kedua untuk hutan/imbo ghano atau hutan larangan adat, dan ketiga peruntukan hutan untuk sumber daya alam hayati yaitu hewan dan tumbuhan.
Salah satu bagian area hutan larangan yang diperuntukkan bagi satwa liar adalah Imbo Larangan Potaliong, membentang luas berdampingan dengan hutan larangan adat Imbo Putui. Di dalam Hutan Potaliong banyak berdiam jenis harimau dan gajah. Menurut cerita masyarakat dan tetua adat, ada hutan/imbo memang dikhususkan untuk raja hutan seperti harimau. Masyarakat di sekitar hutan sejak dahulu menyematkan panggilan harimau dengan sebutan ‘datuk,’ sebagai simbol penghormatan yang konon adalah saksi terbentuknya Kerajaan Petapahan pada masa lalu.
Menurut cerita turun temurun, sebagaimana disampaikan para tetua kampung, Kerajaan petapahan berdiri sekitar abad ke-4 dan ke-5, oleh seorang maharaja yang datang dari dataran Asia besar, masuk ke wilayah ini dengan berlayar menyusuri Sungai Siak menuju ke Tapung Kanan dan singgah di pertemuan Sungai Tapung dan Sungai Petapahan. Sebelum membangun kenegerian, sang maharaja memerintahkan para biksu untuk melihat apakah daerah ini cocok untuk dibangun sebuah negeri. Maka, bertapalah sang biksu dan meminta izin kepada penghuni tanah untuk membangun perkampungan. Dalam ritual pertapaannya, sang biksu berkelahi menghadapi penguasa tanah selama berbulan-bulan dan tidak ada yang kalah dan juga tidak ada yang menang, sehingga mereka bersepakat untuk membagi ruang hidup. Kesepakatannya, untuk kaum manusia berada di pinggir sungai hingga batas Imbo Sesonduok, dan kaum jin/penghuni tanah menguasai hutan/Imbo Gano (Putui), dan datuk (harimau) menguasai hutan/Imbo Potaliong.
Sejak ada kesepakatan itu, menjadi titik awal kampung dibangun atas titah sang maharaja. Wilayah perkampungan dibangun di muara Sungai Petapahan dan Tapu Ong (Tapung). Setelah kampung berkembang, maharaja kemudian melanjutkan perjalanan menuju arah garis khatulistiwa. Di tengah perjalanan, maharaja berhenti di sebuah wilayah tak bertuan dekat tepi sungai, dan memerintahkan pengikutnya untuk mendirikan istana dan pemukiman di wilayah tersebut, wilayah itu hingga ini dikenal dengan nama Batu Gajah.
Setelah itu, perjalanan maharaja kembali berlanjut menuju arah garis khatulistiwa sehingga berhenti pada suatu tempat. Di sana maharaja memerintahkan untuk mendirikan sebuah bangunan candi, dan hingga kini bangunan itu dikenal dengan nama Candi Muaratakus.
Diakuinya Hutan Adat Imbo Putui oleh negara bukan berarti perjuangan masyarakat adat berhenti hingga batas itu, hutan adat butuh pengelolaan dan pengawasan agar berdaya guna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat sekitar hutan khususnya dalam menyokong ekonomi secara keberlanjutan.
Situasi sekarang, hutan larangan ini berbatasan langsung dengan wilayah konsesi milik PT. Rama Jaya Pramukti, sebuah perusahaan yang bergerak pada sektor perkebunan. Perusahaan bisa menjadi ancaman terhadap kawasan hutan karena menurut informasi dari sejumlah masyarakat, sering didapati anakan pohon ditebang oknum perusahaan lalu diambil kayunya. Meskipun lembaga adat menerapkan aturan seperti pengawasan berkala yang dilakukan oleh para pemuda adat, namun pencurian kayu alam dalam waktu tertentu tetap saja terjadi.
Sekira akhir 2020 dan awal 2021, para pemuda adat menangkap pelaku pencurian di dalam hutan, ditangannya ditemukan sejumlah buah kulim yang diambil tanpa izin dari ninik mamak atau pemuka adat. Pelaku kemudian dikenai sanksi adat berupa denda 10 sak semen, dan buah kulim yang diambil dikembalikan ke hutan. Bagi pelaku pencuri kayu alam, dikenakan sanksi sesuai ukuran kayu yang dicuri. Hukuman terendah dikenakan denda 10 sak semen, dan denda semakin tinggi sesuai lingkar kayu atau pohon yang dicuri. Uniknya, hingga kini belum ada pencuri kayu yang tertangkap.
Hukuman denda menjadi aturan dan sanksi adat di Kenegerian Petapahan yang harus ditaati dan berlaku bagi setiap pelaku pencurian. Sanksi adat ini sudah berjalan lama dan cukup efektif meredam aksi-aksi penjarahan dan penebangan kayu secara ilegal. Eksistensi tutupan kayu alam di Hutan Adat Imbo Putui seluas 251 Ha menjadi bukti saat ini bagaimana Masyarakat Hukum Adat mampu menjaga hutan dengan baik melalui kearifan lokal.
Pasca pengakuan hutan adat, pengelolaan Hutan Larangan Imbo Putui terus digesa. Saat ini pengembangan kawasan hutan berada di tepi Sungai Petapahan untuk tujuan wisata sedang digarap. Area pemandian dan camping ground sudah dalam tahap penyelesaian.
Rencananya untuk tahap lanjut, konsep kawasan wisata akan mengkombinasikan ekowisata dengan wisata adat. Kakayaan alam dan keragaman budaya serta adat istiadat yang dimiliki Kenegerian Petapahan jika dikolaborasikan dalam satu destinasi wisata akan menjadi potensi baru bagi sumber pendapatan masyarakat. Pemerintahan desa dan ninik mamak di Kenegerian Petapahan kini sudah membuka diri sehingga tidak menutup kemungkinan menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dalam menjaga kelestarian hutan adat. – Habis – [editor : Mom]
