[Oleh : Nuskan Syarif] Kenegerian Petapahan merupakan sebuah kenegerian yang memiliki etnik tersendiri dan dulunya adalah kerajaan besar dan otonom. Kenegerian Petapahan berada di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, kawasannya berada di sepanjang tepi Sungai Tapung Kiri. Di kenegerian ini masih ditemui rumah adat berusia lebih dari 300 tahun yang tetap berdiri kokoh meski sudah dimakan usia.
Petapahan memiliki keunikan karya seni rupa pengrajin perempuan adat yaitu tudung saji. Tudung saji khas Kenegerian Petapahan menjadi daya tarik tersendiri. Kerajinan tangan ini selain sebagai penyungkup makanan, sering pula menjadi souvenir untuk hiasan dinding rumah. Karya tradisional tradisi Melayu tersebut konon hanya ada satu-satunya di Riau.
Tudung saji khas Petapahan ini bahan baku serta teknik pembuatannya masih tergolong tradisional dan menggunakan bahan keras alami yang diperoleh dari sumber daya hutan. Bahan baku berupa bambu bisa ditemukan tumbuh liar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tapung dan Petapahan.
Bahan utama pembuatan tudung saji adalah empelur bambu muda bagian dalam. Selain itu ada pula daun sangai dan sebentuk tali dari serat daun nanas. Ketiga bahan tersebut merupakan bahan dasar kerangka yang membentuk lekuk tudung saji. Motif warnanya menggunakan getah kayu dagha-dagha atau mendaharan. Materi lain untuk warna menggunakan langas lampu semprong atau lampu teplok. Langas adalah abu hasil pembakaran yang menempel di kaca lampu. Kedua bahan pewarna tersebut fungsinya beda. Motif awal dibuat dari langas lampu yang ditampung pada sebuah nampan cembung seperti kuali, lalu dicampur dengan getah jeruk kesturi dan diaduk rata. Selanjutnya getah dagha-dagha yang kering dihaluskan dan diberi minyak, sebagai bahan pewarna merah setelah motif dasar dipoles. Alat tulis dan kuas menggunakan bahan lidi inti ijuk dan bambu, untuk jangka dan mistar menggunakan bambu atau kayu. Rotan digunakan untuk mengapir dan memperkuat lingkar tudung saji yang diikat dengan benang dari serat nanas.
Membuat karya seni tudung saji ini tergolong rumit dan membutuhkan keahlian khusus. Jika semua bahan lengkap, satu buah tudung saji berkualitas bisa diselesaikan dalam jangka waktu 2 hingga 3 hari.
Bahan baku seperti empulur bambu bagian dalam, penanganannya melalui proses cukup panjang. Dimulai dari tahap pendiangan, pengelupasan empelur bagian dalam, perebusan, penjemuran, hingga tahap pengamplasan/ penghalusan menggunakan pasir sungai yang mengalir. Kemudian penjemuran kembali dilakukan guna menjaga kestabilan dan pengembangan agar olahan bambu tidak menggulung. Tahapan proses ini bisa sekira 2 minggu untuk mendapatkan hasil sempurna

Inciek Bidas (Hj. Bidasri) sedang mempersiapkan bahan empulur bambu yang sudah diolah dan dikeringkan untuk dibuat menjadi kerajinan tudung saji [foto : Bahtera Alam]
Penanganan daun sangai membutuhkan waktu sekira 1 minggu untuk kering sempurna, sementara bahan baku rotan butuh waktu sekira 2 minggu untuk kering sempurna melalui proses yang cukup panjang dan rumit. Menyerut rotan menggunakan pisau khusus panyawuik agar diperoleh hasil yang bagus. Waktu pembuatan bisa lebih cepat atau lebih lama, tergantung dari kondisi cuaca, kelengkapan bahan baku, dan cara penanganan.
Saat ini bahan pembuat tudung saji telah menggunakan beberapa bahan sintetis, seperti bahan getah dagha-dagha diganti dengan cat minyak warna merah, bahan tali menggunakan tali rafia atau nilon. Selebihnya masih menggunakan bahan alami.
Di Petapahan tidak banyak kaum perempuan adat yang menekuni kerajinan tudung saji ini. Selama berada 2 minggu di Kenegerian Petapahan, tim riset dari IPB dan Bahtera Alam hanya menemukan dua perempuan adat pengrajin tudung saji. Mereka adalah Inciek Bidas (Hj. Bidasri) dan Mak Ongah Samaria.
Meskipun usia sudah mendekati senja, kegigihan mereka patut menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat adat lainnya. Mempertahankan budaya dan karya tradisional turun temurun seperti yang diajarkan oleh pendahulu mereka bukan hal yang gampang. Telah banyak kerajinan tudung saji bermotif etnik dan cantik tercipta dari keterampilan tangan dua perempuan adat yang hebat ini.
Karya anyaman tudung saji yang rapi serta motif dan corak yang detail berwarna merah menyala, menampilkan seni rupa tradisional bernilai tinggi dari sebuah eksistensi budaya dan adat istiadat Kenegerian Petapahan.
Tudung saji sendiri selalu menghiasi setiap perhelatan adat baik yang kecil maupun yang besar. Prosesi acara makan bajambegh pun tidak akan lepas dari kehadiran tudung saji, buah karya tangan-tangan telaten perempuan adat.
Adat dan budaya tradisional bisa terus hidup dan terjaga dengan baik apabila masyarakat adatnya masih memakai dan melekat pada kehidupan sehari-hari. Budaya dan adat istiadat akan berangsur sirna apabila anak kemenakan tidak lagi mencintainya. Karya seni rupa tudung saji harus terus dipertahankan karena ia sejatinya bagian dari adat dan budaya itu sendiri. Anak-anak muda perempuan adat khususnya di Kenegerian Petapahan sepatutnya menjadi kader atau penerus kerajinan tudung saji. Karya tradisional ini harus tetap ada, demi tegaknya identitas budaya lokal Petapahan yang kaya, dan demi mempertahankan adat-istiadat secara turun-temurun yang sudah mulai memudar digerus kemajuan zaman.
Rona senja kala itu mulai memudar, kuperhatikan tangan-tangan renta itu masih terampil menggunakan pisau panyawuik menyerut rotan. Mereka berdua, ya tinggal mereka berdua. Sepeninggal mereka siapakah yang akan meneruskan tradisi ini? Nasib kerajinan tudung saji khas Kenegerian Petapahan bagaikan berada ‘di ujung mata pisau panyawuik.’ [Editor : MOM]
