Pupusnya Eksistensi Nelayan Kampung Penyengat

Posted By admin on Jul 18, 2022


Bahtera Alam – Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar masyarakat Kampung Penyengat Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Tetapi saat ini profesi sebagai nelayan tidak bisa lagi dipertahankan karena hasil tangkapan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut penelitian Suci Fahriza, dkk. (2020), di Kampung tidak ada tempat untuk menjual hasil tangkapan dan pemerintah setempat juga kurang memberikan dukungan dalam pengelolaan hasil tangkapan.

Dalam situasi tersebut, bertahan menjadi nelayan merupakan profesi yang sulit. Adalah Pak Duen, salah seorang nelayan dari Kampung Penyengat, saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Ditemui di rumahnya, penulis berkesempatan berbincang-bincang ringan dengan Pak Duen dan istrinya, bercerita suka dan dukanya menjadi nelayan.

Dahulu, kata Pak Duen, jauh sebelum berdirinya pelabuhan Futong milik perusahaan kayu terbesar di Riau, menjadi nelayan merupakan mata pencaharian yang bisa memberikan nilai perekonomian yang baik bagi masyarakat tempatan. Sebagai komunitas adat terpencil yang memiliki sejarah panjang berinteraksi dan bergantung kepada laut, Suku Akit (sekarang dikenal dengan Suku Asli Anak Rawa) sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari hasil menangkap ikan di laut. Dalam sehari, nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan ikan sekira 100 hingga 500 kg dari berbagai jenis, dan pada musim tertentu saat ikan teri bergerombol, nelayan bisa menghasilkan hingga 150 kg ikan teri kering. jenis-jenis ikan tangkapan nelayan adalah dari jenis ikan Lomek, Kakap, Senangin, Sembilang, Sedak, Terubuk, Duri, Biang, Pias, Gebok, Kelampai, Teri, Siput, Lokan, Udang Bakau (Rama-Rama), Ketam, Sepentang (Musil/kitang), Bedoghe, Longkeng, dan Tengbilung (Cacing Kayu Bakau). Hasil tangkapan umumnya dijual di dalam kampung dan kampung tetangga, atau dijual kepada pengepul yang menunggu di pelabuhan kampung Adat Penyengat.

Pak Duen memeriksa jaring ikannya sebelum pergi melaut. Menjadi nelayan di Desa Penyengat tidak bisa lagi diandalkan karena hasil tangkapan ikan cenderung semakin menurun. Sekarang banyak nelayan beralih profesi menjadi petani nenas [Sumber : Bahtera Alam]

Nelayan dan Ikan Tirusan yang Fantastis

Ada yang menarik dari cerita Pak Duen. Pada tahun 2020 yang lalu, pernah salah seorang nelayan di Kampung Penyengat mendapatkan ikan Tirusan dan dibeli oleh seseorang dengan harga yang sangat tinggi, tujuh puluh juta rupiah! Sejak kejadian itu, banyak nelayan tempatan berlomba-lomba untuk menangkap ikan Tirusan ini. Sulit untuk menangkap Tirusan berukuran besar, umumnya yang berhasil ditangkap berukuran kecil.

Menurut laporan berita dari kumparan.com, pada Februari 2022 lalu, seorang nelayan dari Desa Segarau Parit, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berhasil mendapatkan ikan Tirusan dan dibeli seseorang dengan harga harga yang fantastis, seratus empat puluh juta rupiah!

Kenapa harga ikan Tirusan sedemikian tinggi? Ikan Tirusan dihargai tinggi karena manfaat dan khasiat organ gelembung udara yang ada dalam tubuh ikan. Salah satu kegunaannya adalah sebagai bahan baku untuk membuat benang operasi. Di China, gelembung ini menjadi menu makanan untuk masakan sup dan lainnya.

Pak Duen dan istri saat itu, baru mendapatkan empat buah gelembung ikan Tirusan berukuran kecil dan mereka masih terus mencari dan mengumpulkannya. Tidak setiap saat ikan Tirusan bisa didapat di kawasan perairan laut antara Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Siak ini. Menurut Pak Duen, ikan Tirusan dapatnya terkadang tidak disangka-sangka, kadang tertangkap saat memancing atau saat menjaring. Tetapi hingga kini, nelayan belum pernah mendapatkan ikan Tirusan berukuran besar. Bagi nelayan di Kampung Penyengat, berburu ikan Tirusan menjadi pilihan meskipun tidak setiap hari bisa didapat.

Organ gelembung udara yang ada dalam tubuh ikan Tirusan menjadi incaran oleh para nelayan di Desa Penyengat karena nilai jualnya yang tinggi. Meskipun begitu, untuk bisa menangkap ikan Tirusan tidak semudah yang dibayangkan, jika pun tertangkap, paling sering berukuran kecil [Sumber : Bahtera Alam]

“Jika saja terus dapat ikan Tirusan ini baik ukurannya kecil kami akan kumpulkan, dan jika mencapai 2 ons saja itu sudah memberikan penghasilan yang cukup lumayan, selain itu daging ikannya juga bisa dimakan,” imbuh Pak Duen.

Nelayan lokal seperti Pak Duen tidak berfikir yang muluk-muluk terkait hasil tangkapan. “Saya hanya berharap hasil tangkapan ke depan bisa lebih baik lagi, dan menggantungkan harapan pada ikan Tirusan ini juga tidak bagus karena dapatnya juga jarang dan susah,” tutur Pak Duen diakhir pembicaraannya.

Aktivitas Ponton Cemari Lingkungan Laut

Turunnya hasil tangkapan nelayan Suku Asli Anak Rawa di Kampung Penyengat disebabkan oleh lalu lintas kapal ponton milik perusahaan kayu, aktivitas ini menjadi salah satu penyebab utama hilangnya potensi perikanan di kawasan perairan Kampung Penyengat. Kapal ponton yang hilir mudik membawa kayu gelondongan telah menjadi ‘mimpi buruk’ bagi para nelayan. Aktivitas kapal ponton dan limbah kayu dari Pelabuhan Futong berkontribusi terhadap pencemaran laut sehingga berpengaruh pada kelimpahan ikan. Selain itu, sampan kayu dan jaring para nelayan sering dirusak oleh jatuhan kayu gelondongan dan riak gelombang yang dihasilkan oleh aktivitas kapal ini. Tidak jarang jatuhan kayu gelondongan dan riak gelombang yang besar menyebabkan terjadinya abrasi bibir pantai/daratan dan tumbuhan bakau (mangrove) di sekitar Kampung Penyengat. Nelayan pun dilarang melintas di area pelabuhan Futong milik perusahaan padahal area tersebut bagian kawasan tangkapan ikan para nelayan. Wilayah tangkapan nelayan tidak bisa mencapai kawasan perairan laut luas mengingat jarak yang jauh dan kemampuan perahu kecil milik nelayan yang terbatas, dan nelayan lokal tidak memiliki kapal-kapal ikan berukuran besar. Dampak buruk yang sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat Suku Asli Anak Rawa khususnya para nelayan, mengakibatkan pecah konflik pada tahun 2010 – 2011 yang lalu dengan pihak perusahaan.

Kondisi ini mendorong para nelayan untuk mencari sumber mata pencaharian lain karena hasil dari menangkap ikan tidak bisa lagi diandalkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Saat ini menanam nenas dan menjadi petani nenas telah menjadi sumber ekonomi baru yang bisa menyokong ekonomi masyarakat di Kampung Penyengat.

 

Penulis : Nuskan Syarif/Editor : Mu’ammar Hamidy

Literatur :
Suci Fahriza, Zulkarnain, dan Viktor Amrifo. 2020. Transformasi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Menjadi Masyarakat Petani Nenas di Desa Penyengat Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak Provinsi Riau. Jurnal Sosial Ekonomi Pesisir, Volume 1 Nomor 4 Oktober 2020. Coastal Socio-Economic Journal E-ISSN: 2723-679X. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.

184

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *