[Oleh : Nuskan Syarif] Kebun karet milik masyarakat adat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Subayang memiliki perjalanan panjang, sehingga tidak heran jika banyak pohon karet yang tumbuh di kawasan tersebut sudah berumur hampir ratusan tahun, lingkar pohonnya bahkan ada mencapai seukuran gentong atau diamater sekira 60 cm. Uniknya pepohonan karet tumbuh di dalam hutan bercampur baur dengan pohon kayu alam, dan sama rimbunnya karena tumbuh bersamaan dengan tumbuhan asli hutan.
Maka tidak heran jika melihat riwayat pengelolaan karet di DAS Subayang, mayoritas pekerjaan sehari-hari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan memotong karet (menakik/menderes).
Umumnya masyarakat membuka kebun karet di area tidak jauh dari sungai, tujuannya untuk mempermudah dalam mengangkut hasil karet ke tempat penampungan. Selain itu, kebun karet juga dibuka di area yang konon menurut masyarakat lokal tidak curam dan mudah dijangkau. Tetapi bagi warga yang bukan penduduk lokal misalnya orang kota, jika menapaki area kebun karet yang konon katanya tidak curam itu, akan merasa kesulitan karena kontur tanah kebun karet ternyata memiliki kemiringan yang tajam.
Dahulu kebun karet dibuka dengan sistem pertanian yang disebut ladang berpindah. Hamparan ladang atau kebun ditanami padi, kemudian menyusul hamparan tersebut ditanami karet. Semasa tumbuhan karet sudah berkisar satu tahun, masyarakat pindah ke lahan kebun yang lain. Saat karet tumbuh dan berkembang, bersamaan itu pula tumbuh hutan muda, sehingga ketika pohon karet sudah besar, sekeliling kebun sudah seperti hamparan hutan yang rimbun.
Di beberapa desa atau kenegerian terdapat pohon karet tua yang usianya di atas 100 tahun yang dulunya tumbuh bersama pepohonan hutan, saat ini masih dideres oleh masyarakat lokal karena tergolong masih produktif.
Ketangkasan masyarakat dalam membawa hasil karet ke ibukota kecamatan (Gema), merupakan pemandangan tersendiri dan bisa dilihat di aliran Sungai Subayang. Iring-iringan ojol atau getah karet yang akan dibawa ke hilir diikat dengan seutas tali yang kuat lalu ditarik menggunakan pighau (perahu) bermesin robin atau johnson. Rangkaian ojol dengan tangkas diarahkan oleh joki perahu saat melalui area sungai dengan jeram atau arus yang deras agar perahu tidak oleng atau terbalik. Dengan galah di tangan, gesit mereka mengendalikan keseimbangan perahu agar tidak membentur tebing sungai atau batu cadas yg berada di sekitar arus sungai Subayang yang jernih dan deras.
Setelah tiba di tempat perhentian, ojol dikumpulkan di tepi sungai lalu diangkut menggunakan akses jalan darat/aspal menuju Kota Gema atau desa terdekat. Jika ojol dibawa dari Pangkalai Serai (salah satu desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu) menuju Kota Gema atau Desa Tanjung Belit, jarak tempuh bisa mencapai 3 hingga 4 jam. Desa-desa yang berada di kawasan hilir Pangkalan Serai jika menggunakan perahu bisa dicapai dengan waktu lebih singkat karena tidak banyak jeram yang dilalui. Berbeda apabila mencapai desa di Hulu seperti Desa Subayang Jaya dan Terusan.
Jatuhnya Harga Karet Berdampak pada Ekonomi
Ketika harga karet tinggi, masyarakat yang menggantungkan hidup dengan memotong karet bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cukup dan layak. Tetapi pada tahun 2016, harga karet berangsur turun pada titik yang sangat rendah, sehingga masyarakat di DAS Subayang sulit untuk tetap menggantungkan hidup pada karet. Karena tidak ada alternatif lain, karet tetap menjadi penopang hidup untuk kebutuhan pokok rumah tangga dan lainnya. Bagi keluarga yang memilik anak, beban ekonomi semakin besar karena harus membiayai pendidikan anak-anak mereka yang bersekolah di kecamatan atau di kota propinsi. Di desa jenjang pendidikan hanya sampai sekolah dasar, jika ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi harus keluar desa karena tidak memiliki fasilitas gedung setingkat SMP atau SMA dan guru pengajar. Dan sejumlah warga desa memilih untuk hijrah atau mengadu nasib ke desa lain atau ke tempat yang lebih memadai agar bisa bertahan hidup dengan mencari alternatif pekerjaan.
Jika menilik luas karet yang berada di DAS Subayang, maka potensinya sangat besar. Sayangnya luas kebun karet yang tersebar pada hamparan lahan di 6 kenegerian dan 8 desa tersebut tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik terutama pada 10 tahun belakangan ini, terlebih harga karet yang tidak berpihak kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada karet. Animo masyarakat desa akan kembali meningkat, apabila kisaran harga karet berada pada angka Rp.8.000 – Rp.10.000/kg. [Editor : MH]
189