Bahtera Alam, Pekanbaru – Munculnya berbagai kasus sengketa hutan dan lahan yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi Masyarakat Adat, selain dilatarbelakangi lemahnya penegakan hukum, juga karena lemahnya pengetahuan hukum yang dimiliki oleh masyarakat khususnya Masyarakat Adat. Pengetahuan hukum dan advokasi yang baik, menjadi penting bagi pihak yang bersengketa terutama bagi pihak yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan dan lemahnya kemampuan dan dukungan finasial.
Selain pendampingan hukum diberikan kepada masyarakat yang bersengketa sebagai bentuk dukungan untuk mencapai win-win solution, sokongan pengetahuan soal hukum dan advokasi dalam bentuk pembelajaran dan pelatihan juga penting diselenggarakan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan kritis melihat persoalan. Demikian ujar Kepala Divisi Kolaborasi dan Pemberdayaan dari Perkumpulan Bahtera Alam, Hasri Dinata pada Selasa, 14 Februari 2023.

Hasri Dinata dari Bahtera Alam (kiri), Andi Wijaya dari LBH Pekanbaru (tengah) dan Robert Libra (kanan) dari Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, saat penyelenggaraan Pelatihan Pendidikan Hukum Kritis di ruang pertemuan BPMP Provinsi Riau pada Selasa 14 Februari 2023 (Dok. Bahtera Alam)
“Dengan bekal pelatihan hukum, Masyarakat Adat diharapkan mampu berpikir kritis dan berargumentasi dalam mencari solusi persoalan yang dihadapi terutama terkait konflik hutan dan lahan,” sambung Hasri Dinata saat membuka acara Pelatihan Pendidikan Hukum Kritis yang diselenggarakan di gedung Balai Pelatihan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Riau.
Tujuan diselenggarakan pelatihan tentang hukum kritis ini menurut Hasri, salah satunya adalah untuk meningkatkan kemampuan, pemahaman, dan kapasitas pengetahuan Masyarakat Adat terhadap hukum dan advokasi. Selanjutnya adalah untuk menyamakan pemikiran antara sesama Masyarakat Adat pentingnya mempertahankan hak-hak mereka.
Pelatihan menghadirkan pembicara atau pemateri yaitu Ketua LBH Fakultas Hukum Universitas Hukum Lancang Kuning (Unilak), Robert Libra, S.H., M.H., dan dari Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Andi Wijaya, S.H. Selain penyampaian teori dasar-dasar hukum, pelaksanaan proses pelatihan juga diisi dengan diskusi tanya jawab, dan studi kasus.
Robert Libra dalam penyampaian materinya menjelaskan bahwa dalam pengalamannya menangani perkara, ada perwakilan dari masyarakat yang perkaranya sampai ke pengadilan itu paham sekali soal hukum terkait seluk beluk perkara yang mereka tangani. Menurutnya, perwakilan-perwakilan adat belum tentu tidak tahu hukum, bahkan ilmu hukumnya hampir rata-rata kemampuan setara para advokat, padahal pengalaman mereka beracara di pengadilan tidak sebanyak pengalaman para advokat tersebut.
“Bahkan masyarakat-masyarakat adat yang sampai ke pengadilan, perwakilan-perwakilan, contoh serikat buruh. Saya sering juga tangani perkara-perkara ketenagakerjaan itu, mereka di serikat itu tak sarjana hukum Pak, tapi mereka bisa sidang. Karena memang di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial itu, serikat itu bisa sidang. ilmunya bahkan cukup bagus dan cukup paham soal hukum yang mereka hadapi atau tangani,” ungkap Robert Libra.

Robert Libra, SH., MH., saat menyampaikan materi pembuka Pelatihan Pendidikan Hukum Kritis yang diselenggarakan oleh Bahtera Alam pada 14-15 Februari 2023 (Dok. Bahtera Alam)
Robert Libra menambahkan bahwa ada paralegal-paralegal yang diakui keberadaannya oleh negara dan itu konsepnya sebenarnya adalah ke Masyarakat Hukum Adat.
“Sekarang ini bagus kok, Pasal 18 (Pasal 18 B UUD 1945 – red.) itu dinyatakan bahwa negara mengakui terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat itu indikatornya apa? Indikatornya adalah sepanjang ia masih hidup. Maka tugas Bapak Ibu yang ada di Masyarakat Hukum Adat itu buat Adat itu hidup, supaya indikatornya penuh,” ujarnya.
Diketahui bahwa Paralegal adalah pemberi bantuan hukum yang telah mengikuti pelatihan Paralegal dan tidak berprofesi sebagai advokat. paralegal tetap bisa beracara di pengadilan untuk memberikan bantuan hukum terhadap warga yang tidak mampu dan miskin, termasuk bantuan hukum kepada Masyarakat Hukum Adat.
Materi hukum yang disampaikan hingga tengah hari oleh Robert Libra, kemudian dilanjutkan oleh Andi Wijaya hingga hari kedua.

Peserta pelatihan dari perwakilan Masyarakat Hukum Adat saat mendengarkan sesi materi hukum yang disampaikan oleh Andi Wijaya, SH di ruang pertemuan BPMP Provinsi Riau (Dok. Bahtera Alam)
Kenapa dikatakan hukum kritis? Karena banyak sekali hukum itu tidak sesuai dengan kaidahnya. Hukum itu dibuat bukan untuk keadilan dan kepastian hukum, tetapi hukum itu dibuat hanya untuk penguasa. Demikian ujar Andi Wijaya dalam pengantar materinya.
“Hukum kritis dalam bahasa Inggris disebut Critical Legal Study. Kenapa dikatakan Critical Legal Study? Pendidikan Hukum Kritis? karena orang-orang dahulu khususnya di Amerika, di Eropa, di Inggris itu mengkritisi hukum yang tak sesuai di dalam masyarakat. Jadi hukum hanya dipergunakan untuk kelompok elit,” sambungnya.
Menurutnya, hukum muncul bukan karena kepentingan politik, tetapi karena adanya suatu perubahan sosial. Artinya bukan hukum yang mengatur sosial, tapi sosiallah yang mengatur hukum. Pada teorinya, hukum itu berkembang berdasarkan kehidupan sosial.
Andi Wijaya dalam materinya juga menjelaskan soal hak-hak Masyarakat Adat. Hak-hak masyarakat yang paling sering disuarakan adalah hak untuk menguasai, memiliki, mengendalikan, dan mengelola tanah atau sumberdaya alam di wilayah adatnya.

Direktur Bahtera Alam, Harry Oktavian saat mendampingi Ketua LBH Pekanbaru, Andi Wijaya saat menyerahkan sertifikat pelatihan kepada perwakilan peserta dari Masyarakat Hukum Adat pada Rabu, 15 Februari 2023 (Dok. Bahtera Alam).
Selain itu adalah hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat, termasuk peradilan adat, dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat. Juga termasuk hak untuk mengurus diri sendiri berasarkan sistem kepengurusan kelembagaan adat, hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistem pengetahuan (kearifan tradisional, dan bahasa asli). Demikian ungkapnya.
Pelatihan Pendidikan Hukum Kritis yang diselenggarakan selama dua hari tersebut, diikuti peserta dari enam daerah perwakilan Masyarakat Hukum Adat (MHA), yaitu terdiri dari perwakilan MHA Petapahan, Kampa, Sakai Sobanga, Suku Akit, Suku Asli Anak Rawa, dan Suku Sakai Minas, degan total 14 peserta. [mom/BA]

February 19, 2023
Mantap…ditunggu tindak lanjut nya