Perempuan Adat Baris Terdepan dalam Pengelolaan SDA

Posted By admin on Jun 30, 2022


Bahtera Alam, Siak Sri Indrapura – Suku Sakai Bathin Sobanga dan Suku Asli Anak Rawa merupakan dua komunitas suku asli di Riau yang sampai saat ini masih memiliki Hutan Adat walaupun masih dalam tahap pengusulan untuk mendapat pengakuan dari negara. Kedua komunitas suku asli ini memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti hutan dan sungai. Dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut, Perempuan Adat memiliki peran besar dan berada dalam baris terdepan untuk mewujudkan ketahanan ekonomi, peranan sosial, maupun dalam menjaga kelestarian lingkungan alam.

Dalam pranata adat, mereka memiliki ruang-ruang tertentu dalam pengelolaan hutan seperti daerah Pandan atau Kumpai, yaitu lokasi habitat yang subur berkembang jenis tumbuhan pandan. Pandan dimanfaatkan oleh Perempuan Adat sebagai bahan baku untuk membuat anyaman atau kerajinan tradisional yang banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga. Sedangkan pemanfaatan wilayah sungai (tasik) atau laut, Perempuan Adat ikut menjaring atau menangkap ikan, sebagai sumber air bersih, tempat aktivitas rumah tangga, dan sumber irigasi.

Jika dibandingkan pengelolaan SDA oleh Perempuan Adat pada masa lalu dengan masa sekarang tentu sudah berubah. Perubahan terjadi karena pengaruh kemajuan zaman dan tekanan terhadap SDA itu sendiri oleh pembangunan luas area perkebunan seperti industri sawit dan HTI di kawasan yang dulunya bagian dari tutupan hutan.

Perempuan Adat dari Suku Sakai Bathin Sobanga dan Suku Asli Anak Rawa memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda, tetapi mereka memiliki satu tujuan yaitu mengambil bagian dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa, mempertahankan pengetahuan adat, termasuk dalam melestarikan lingkungan, di samping berkewajiban mendidik generasi penerus.

Bertemunya dua komunitas suku asli Riau dalam satu kegiatan atau pertemuan merupakan hal yang menarik untuk berbagi pengalaman terkait kebiasaan adat istiadat dan budaya, merekatkan tali persaudaraan sebagai sesama Perempuan Adat, dan memperluas ilmu dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.

Dua komunitas Perempuan Adat saat mengunjungi Istana Siak. Semiloka Perempuan Adat yang ditaja oleh Perkumpulan Bahtera Alam mempertemukan dua Suku Asli Riau yang berbeda latar belakang kultur dan sejarah. Pertemuan Semiloka dilakukan pada 22- 23 Juni 2022 [Foto : Bahtera Alam]

Perkumpulan Bahtera Alam pada 22 – 23 Juni 2022, menginisiasi kegiatan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) untuk Perempuan Adat yang mengusung tema Keterlibatan Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kegiatan seminar tersebut mengundang dua komunitas Perempuan Adat dari Suku Sakai Bathin Sobanga dan Suku Asli Anak Rawa.

Kegiatan Semiloka dihadiri oleh tujuh orang Perempuan Adat dari masing-masing komunitas dan pertemuan diselenggarakan di ruang pertemuan Hotel Winaria, Siak Sri Indrapura. Dalam pertemuan tersebut, PBA mengundang narasumber dari PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita) Riau, Herlia Santi. Dalam pemaparannya, Santi akan menjelaskan tentang hak dan tanggung jawab serta peran perempuan di era emansipasi.

Semiloka ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang kebijakan negara dan hak pengelolaan SDA berkelanjutan, serta mendorong kemandirian Perempuan Adat dalam mengakses SDA secara berkelanjutan.

Direktur Program Bahtera Alam, Nuskan Syarif, menjelaskan bahwa pada strata sosial perempuan cenderung termarjinalkan dalam berbagai golongan misalnya dari ukuran kekuasaan, ilmu pengetahuan, ekonomi, hingga kehormatan. Dari strata tersebut yang paling termajinalkan adalah Perempuan Adat.

“Oleh karena itu, kegiatan semiloka ini merupakan bagian dari pendampingan dan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan Perempuan Adat sehingga mampu mengelola sumber daya alam mereka secara mandiri,” ungkap Nuskan Syarif.

Menurut Nuskan, hasil dari kegiatan semiloka ini, pertama diharapkan terwujud pertemuan yang memperkuat hubungan emosional antara dua komunitas adat yang berbeda dari sisi kultur dan sejarah. Kedua adalah, terwujudnya proses dalam hal menyempurnakan hasil penelitian mini riset melalui diskusi FGD.

Bagian kedua ini (diskusi) merupakan bagian yang cukup penting, karena beberapa minggu sebelumnya telah dilakukan penelitian (mini riset) terkait Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Diskusi dalam format Focus Group Discussion (FGD) akan memeriksa ulang informasi dan validasi data dari hasil penelitian tersebut. Demikian tutup Nuskan. [By : Hari Novar/Mu’ammar Hamidy]

 

 

22

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *