Skema Kemitraan Kehutanan Solusi atas Konflik Tenurial

Posted By admin on Jan 17, 2023


BAHTERA ALAM – Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Program Perhutanan Sosial yang resmi diluncurkan oleh pemerintah RI pada 2015 melalui KLHK, adalah berawal dari adanya ketimpangan dalam akses pemanfaatan hutan. Program Perhutanan Sosial yang terdiri dari lima skema tersebut, menjadi pilihan bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan untuk bisa memiliki hak akses kelola kawasan hutan secara legal. Diketahui bahwa pemerintah telah mengalokasikan kawasan untuk Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha. Program Perhutanan Sosial diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan kawasan hutan tetap terjaga kelestariannya.

Pengelolaan Kawasan Perhutanan Sosial difokuskan pada potensi pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan hasil hutan kayu (HHK), jasa lingkungan atau ekowisata yang berkelanjutan.

Riau merupakan daerah pertama menjadi target sosialisasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kemitraan Kehutanan sebagai salah satu skema dari Perhutanan Sosial.

Menurut AntaraNews.com, acara sosialisasi yang dilaksanakan di Pekanbaru pada 10 Oktober 2013 yang lalu, bekerjasama dengan Kemitraan (Partnership for Governance Reform). Acara tersebut dihadiri, dibuka, dan diapresiasi oleh Kepala Dinas kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf, sedangkan peserta sosialisasi berasal dari perwakilan Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten, perwakilan pengusaha, dan masyarakat sipil dari Riau, Jambi, dan Sumatera Utara.

Skema Kemitraan Kehutanan berwujud kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan. Skema ini menjadi salah satu solusi dalam penyelesaian konflik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, dan Riau merupakan wilayah provinsi di Sumatera yang memiliki tingkat perselisihan konflik tenurial yang tinggi terkait klaim penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan dan lahan.

Ada dua prinsip yang perlu diperhatikan sebelum masyarakat didorong dalam skema Kemitraan Kehutanan, yaitu : 1) Pemegang izin konsesi kehutanan maupun pengelola kawasan hutan (KPH) harus mengetahui dengan jelas kondisi kawasan yang dikelolanya, dan; 2) Bagaimana aktivitas dan interaksi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap kawasan hutan yang melingkupinya.

Dua prinsip ini menjadi hal yang ditekankan untuk menghasilkan kajian situasi bagaimana memahami dinamika masyarakat dan kondisinya sehingga program pemberdayaan masyarakat menjadi tepat, terarah, dan berhasil sesuai basis kekuatan masyarakat. Dan di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 Tahun 2013 itu sendiri, pun telah disusun dan diatur mekanisme keterlibatan negara/pemerintah dalam interaksi antara masyarakat dan pengusaha di bidang kehutanan melalui skema kemitraan.

Di Riau, ada contoh kasus perjanjian kemitraan yang kemudian bermasalah. Dilansir dari detakindonesia.co.id, pada Tahun 2017 masyarakat Desa Teritip yang tergabung dalam Gakpoktan Sumber Alam Makmur, Bagan Siapi-api Kabupaten Rokan Hilir melakukan kemitraan dengan PT. DRT seluas 4000 Ha, dan 400 hektarnya merupakan tanah milik masyarakat Desa Teritip. Dalam perjalanan kerjasama tersebut timbul konflik, tanah dikelola masyarakat yang sudah ditanami keladi dan sawit dirusak oleh PT. DRT.

Namun di lain sisi, kebijakan Perhutanan Sosial melalui skema Kemitraan Kehutanan telah menorehkan sejarah di Riau. Merujuk siaran pers dari elang.or.id, konflik antara PT Arara Abadi (pemilik izin HTI) dengan masyarakat Kampung Dosan, Kabupaten Siak yang telah berlangsung lebih dari dua dekade (20 tahun) akhirnya sepakat mengakhiri konflik berkepanjangan. Pada September 2022 lalu, para pihak akhirnya menyepakati Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) antara Gabungan Kelompok Tani Hutan Kampung Dosan dengan IUPHHK-HT PT. Arara Abadi. Areal konsesi seluas 1.380 hektar disepakati menjadi areal kesepakatan kerjasama kemitraan, dan areal ini merupakan lahan garapan masyarakat dan sudah lama dikelola jauh sebelum adanya konsesi HTI tersebut.

Skema Perhutanan Sosial Kurang Sosialisasi

Eksploitasi sumberdaya alam Indonesia masih terus berlangsung, dan masyarakat yang paling terdampak adalah Masyarakat Adat, khususnya Masyarakat Adat yang tersebar di Riau. Di Riau sendiri terdata lebih kurang 306 suku/komunitas adat dengan potensi Hutan Adat lebih kurang 300.000 Ha (sumber : WRI).

Program Perhutanan Sosial menjadi memberikan oase atau harapan baru bagi komunitas adat di Riau, namun kenyataan di lapangan informasi tentang kebijakan ini tidak sepenuhnya sampai kepada Masyarakat Adat.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa jumlah anggaran yang disediakan pemerintah untuk program Perhutanan Sosial sangat rendah dan berdampak pada pencapaian target. Sementara alokasi anggaran yang memadai sangat dibutuhkan karena meliputi kegiatan seperti sosialisasi, pendampingan masyarakat, fasilitasi, dan sebagainya.

Sejak diluncurkan, informasi program Perhutanan Sosial belum terdistribusi dengan baik dan merata ke seluruh lapisan masyarakat terutama yang berada di dalam hutan (Masyarakat Adat) dan masyarakat di sekitar hutan. Sejauh ini masih banyak masyarakat belum mendapatkan hak dan akses pengelolaan atas hutan dan tanah. Sosialisasi dan pendampingan tidak berjalan optimal, bahkan ada dari pihak pemerintah daerah tidak banyak mengetahui tentang skema atau regulasi Perhutanan Sosial ini.

Penting untuk menjelaskan secara konkrit masing-masing dari lima skema Perhutanan Sosial ini kepada masyarakat agar mereka memiliki wawasan dan mengerti persoalan, sehingga mampu menetapkan pilihan skema yang tepat sesuai kondisi kawasan dan kebutuhan masyarakat. ***

By : Nuskan Syarif/MH
:: Ditulis, dikutip, dan dinarasikan kembali dari sumber tulisan/artikel : dishut.lampungprov.go.id/ katadata.co.id/ kph.menlhk.go.id/ kominfo.go.id/ neliti.com/ mongabay.co.id.

178

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *