Bahtera Alam, Kesumbo Ampai – Gubernur Riau menyerahkan SK Pengakuan Hutan Adat Imbo Ayo dan Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai Bathin Sebanga pada Rabu, 9 November 2022 di Rumah Adat Sakai Bathin Sebanga, Kesumbo Ampai, Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Luasan hutan adat Bathin Sobanga sendiri mencapai 207 hektare, dan sebagiannya sudah menjadi Area Penggunaan Lain (APL).
“Hari ini kita menyerahkan SK Pengakuan MHA dan HA Imbo Ayo Suku Sakai Bathin Sobanga Provinsi Riau. Sungguh menjadi kebanggaan bagi kami selaku pemerintah Provinsi Riau dapat ikut berpartisipasi dalam perjuangan ini. Ini bentuk komitmen Riau Hijau, di mana praktek kearifan lokal, meningkatkan mutu SDA dan Hutan Berkeadilan. Setelah ini akan kita tindak lanjuti untuk ke Kementerian LHK RI untuk mendapatkan pengakuan langsung oleh pusat. Terakhir, semoga ini bisa menjadi motivasi atau dorongan bagi masyarakat adat lainnya khususnya di Provinsi Riau” kata Gubri.
Dengan lahirnya pengakuan ini, menjadi fakta pertama di Indonesia bahwa Gubernur menandatangani SK Pengakuan HA & MHA dilatarbelakangi oleh kondisi wilayah MHA Suku Sakai Bathin Sobanga yang berada di 3 kabupaten/kota yaitu meliputi Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Madya Dumai, sebagaimana tertuang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 pasal 6 tentang Pedoman Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam acara tersebut, turut hadir Bupati Bengkalis Kasmarni, ia mengungkapkan bahwa pemerintah Kabupaten Bengkalis dan masyarakat Suku Sakai Bathin Sobanga berterima kasih kepada Pemerintah Provinsi Riau telah mengakui dan menyerahkan SK Pengakuan kepada masyarakat Suku Sakai Bathin Sobanga.
“Terima Kasih pak Gubernur Riau, masyarakat Suku Sakai Bathin Sobanga bersyukur dan bangga dengan pengakuan ini. Saya yakin Masyarakat Sakai dapat menjaga marwah dan hutan untuk generasi selanjutnya” ujar Bupati Bengkalis Kasmarni.
Sementara itu Bathin Sobanga, Datuk Mohammad Nasir Bathin Iyo Banso menyampaikan apresiasi kepada pemerintah Provinsi Riau dan berbagai pihak lainnya yang telah membantu mereka dalam memperjuangkan pengakuan ini.
“Kami ucapkan terima kasih kepada pak Gubernur Riau, Pak Rektor UNILAK, LHK Riau, NGO dan pihak lainnya yang telah mendampingi kami dalam proses pengakuan ini. Kami cemas Pak, kalau Hutan Adat kami akan dibuat jalan tol. Sedangkan cuma hutan kecil ini yang tersisa. Setelah kami surati pak Gubernur, alhamdulillah beliau komitmen membantu kami” ungkapnya.
Dalam penyerahan SK, turut hadir Kadis LHK Riau, Perkumpulan Bahtera Alam, WRI Indonesia, Perwakilan Bupati Rokan Hilir, Perwakilan Walikota Dumai, Dandim, Polres, Kadis Perikanan dan Kelautan, Kadis Pangan Tanaman, Perwakilan PHR, Perwakilan RAPP, Perwakilan Arara Abadi, dan lainnya.
Dalam kesempatan acara tersebut, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Adat (LPHA) Suku Sakai Bathin Sobanga, M Anton Bomban Buana, menghaturkan terimakasih setinggi-tingginya kepada Pemerintah Propinsi Riau khususnya Gubernur Riau atas penghargaan yang diberikan kepada Suku Sakai berupa penyerahan SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat (Imbo Ayo) Bathin Sobanga.
“Sungguh ini merupakan penghargaan besar diberikan kepada kami Suku Sakai Bathin Sobanga, terima kasih setinggi-tingginya kepada Bapak Gubernur, terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan mendorong terwujudnya pengakuan ini,” ujar Anton.
Menurutnya, dengan terbitnya SK pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Imbo Ayo, telah mempertegas eksistensi Suku Sakai khususnya Bathin Sobanga sebagai salah satu komunitas adat terpencil yang ada di nusantara, khususnya Riau.
“Hutan Adat Imbo Ayo banyak memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, khusus lagi Suku Sakai. kekayaan sumber daya hutan yang ada di dalam Hutan Imbo Ayo, sejak dulu kala sudah menjadi sumber penghidupan kami, hutan adalah rumah kami dan harus dirawat sebaik-baiknya,” tegas Anton.
Anton juga mengungkapkan bahwa saat ini mereka sedang menyusun rencana pengelolaan hutan adat. Dengan adanya rencana pengelolaan, Hutan Adat Imbo Ayo punya pedoman untuk dikelola dengan baik agar terus dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan hingga anak cucu. Saat ini sambungnya, Imbo Ayo telah menjadi tempat belajar bagi banyak pihak karena keberagaman sumber daya hutan baik tanaman maupun hewan yang dilindungi terus oleh aturan adat hingga hari ini.
Suku Sakai dan Eksistensi Hutan Adat
Diketahui bahwa Suku Sakai merupakan salah satu kelompok Masyarakat Adat di Riau di antara banyak suku-suku lainnya yang tersebar di beberapa wilayah Bumi Lancang Kuning, seperti Suku Bonai, Akit, Anak Rawa, Suku Laut, Petalangan, Duano, Talang Mamak, dan Melayu. Suku Sakai banyak tersebar di wilayah Kabupaten Siak, Bengkalis, dan Rokan Hilir.
Pada awalnya Suku Sakai sering disebut dengan suku terasing sebagaimana suku-suku terpencil lainnya yang ada di nusantara, tetapi kemudian penamaan masyarakat suku terasing kurang tepat, karena eksistensi suku-suku dimaksud adalah sebagai Orang Asli atau penduduk yang paling ‘Asli’ di bumi nusantara ini. Oleh pemerintah RI ditetapkan soal penamaan bagi masyarakat suku terasing yang kemudian dikenal dengan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT). Istilah ini tertuang dalam Surat Keputusan Presiden No. 111 tahun 1999.
Bentuk kepemimpinan tradisional Suku Sakai berwujud ‘Sistem Perbathinan,’ yaitu Kepala Suku atau Penghulu dalam budaya Melayu. Perbathinan Sakai ada dua yaitu Bathin Selapan dan Bathin Limo yang menempati beberapa wilayah di Kecamatan Minas dan Kandis Kabupaten Siak, dan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis hingga ke wilayah di Kabupaten Rokan Hilir. Sejumlah desa yang tercakup dalam Wilayah Bathin Limo di antaranya ada di wilayah Kabupaten Siak seperti Minas, Kandis, Belutu, Pinaso, dan Genggang. Sedangkan sejumlah desa yang tercakup dalam wilayah Bathin Solapan di antaranya ada di wilayah Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis seperti Desa Penaso dan Muara Basung dan di Kecamatan Bathin Solapan seperti Desa Kusumbo Ampai.
Dalam sejarahnya, asal usul perbathinan konon merupakan 13 keluarga, 1 yang membuat Banjar Panjang di kawasan hutan Mandau sebagai tempat tinggalnya. Bathin Solapan terdiri atas : Batin Bomban Petani, Batin Sebangar (Sobanga) Sungai Jeneh, Batin Betuah, Batin Bumbung, Batin Sembunai, Batin Jalelo, Batin Beringin, dan Batin Bomban Seri Pauh. Batin Limo terdiri atas Batin Tengganau, Batin Beromban Minas, Batin Belitu, Batin Singameraja dan Batin Meraso. Masing-masing kelompok kerabat mempunyai induk, yaitu Batin Solapan induknya adalah Batin Jalelo, dan Batin Limo induknya adalah Batin Tengganau [Sumber : dinsos.riau.go.id].
Dalam perkembangannya, Komunitas Adat yang ada Riau sebagian besar sudah tidak lagi memiliki hutan adat sebagaimana dulu mereka hidup, di mana hutan menjadi tempat bernaung dan sumber kehidupan. Hutan bagi Komunitas Adat Terpencil atau masyarakat adat merupakan identitas, di hutan mereka menggantungkan hidup, semua kebutuhan sandang dan pangan diperoleh dari hutan. Masyarakat adat terbiasa memanfaatkan dan mengelola hutan dengan bijaksana dan mereka memegang teguh nilai-nilai budaya di kalangan masyarakat adat dalam menjaga hutan.
Melihat fakta bahwa eksistensi luasan kawasan hutan di Riau yang sudah menyusut drastis akibat eksploitasi berbasis bisnis untuk perluasan kawasan hutan tanaman industri (HTI) dan kebun sawit, muncul sepucuk surat dari Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai Bathin Sobanga. Surat yang ditujukan kepada Gubernur Riau berisi soal keberatan masyarakat atas rencana pembangunan jalan tol Pekanbaru – Rantau Prapat yang akan membelah Hutan Adat milik masyarakat hukum adat Suku Sakai Bathin Sobanga. Hutan Adat bernama Imbo Ayo Bathin Sobanga ini berada di wilayah Desa Kesumbo Ampai dan memiliki luas ± 207 Ha.
Surat keberatan tersebut mendapat respon positif dari Syamsuar selaku Gubernur Riau dengan mengunjungi Desa kesumbo Ampai dan bertemu para ninik mamak di Rumah Adat Suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai. Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa pembangunan jalur lintasan jalan tol dimaksud akan dialihkan, rencananya akan dibangun di atas atau di bawah Hutan adat Imbo Ayo Bathin Sobanga.
Usulan Pengakuan Hutan Adat Bathin Sobanga
Dibalik kondisi hutan Riau yang punah ranah, ternyata nilai-nilai positif kearifan lokal milik masyarakat adat Suku Sakai Bathin Sobanga masih menyisakan sedikit Hutan Adat yang terjaga. Melihat peluang ini, Gubernur Riau kemudian menginstruksikan Kepala Dinas LHK Riau untuk mewujudkan eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Suku Sakai Bathin Sobanga agar mendapat pengakuan dari negara.
Pada 10 Oktober 2020, Kepala Dinas LHK Riau, Maamun Murod meminta Bahtera Alam ikut mendampingi dalam rangka kunjungan kerja ke Desa Kesumbo Ampai Kecamatan Bathin Solapan Kabupaten Bengkalis, terkait sosialisasi tentang Perhutanan Sosial. Dalam kesempatan pertemuan tersebut selain soal Perhutanan Sosial, dilakukan diskusi perihal usulan untuk mendapatkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat. Diskusi dilakukan di Balai Adat bersama perwakilan Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai Bathin Sobanga, ninik mamak, PLT Kepala Desa Kesumbo Ampai, dan pemuda adat. Pembicaraan soal usulan ini disambut antusias oleh masyarakat sehingga disepakati rencana untuk menyusun dan melengkapi dokumen persyaratan pengajuan segera ke pemerintah terkait.
Selama proses pengajuan usulan, pedampingan oleh Bahtera Alam terus dilakukan dan mendapat dukungan dari Dinas LHK Provinsi Riau dan Lembaga Adat Melayu Riau (LAM-Riau), hingga berlanjut pada tahap penyerahan SK pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Suku Sakai Bathin Sobanga.
Nuskan Syarif selaku Direktur Program Bahtera Alam menjelaskan bahwa upaya pengakuan dan penyelamatan Hutan Adat ini merupakan bagian dari komitmen masyarakat adat terhadap penurunan emisi karbon yang menjadi konsen pemerintah Indonesia terhadap situasi global.
Guna mengantisipasi deforestasi kata Nuskan, Pemerintah Indonesia telah membuat langkah-langkah penting untuk menjaga hutan dan fungsinya, langkah strategis untuk mengamankan hutan khususnya Hutan Adat adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri LHK no.17 tahun 2020 tentang Pengakuan Hutan Adat dan hutan HAK.
“Sekarang Suku Sakai Bathin Sobanga telah mendapatkan pengakuan resmi sebagai Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat yang SK-nya diserahkan langsung oleh Pak Gubernur, sehingga tahapan ini menjadi momen penting untuk bisa diteruskan ke Kementerian LHK RI agar mendapatkan pengakuan dari negara,” ujar Nuskan.
Visi Indonesia Menuju Ketahanan Iklim pada 2030
Diketahui bahwa pada pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), yaitu badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas mendukung respons global terhadap ancaman perubahan iklim. Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. Artinya Indonesia akan menuju ketahanan rendah karbon dan iklim tahun 2030.
Khususnya pada sektor kehutanan dan lahan perlu didorong untuk mencapai tujuan NDC tersebut, meskipun sangat banyak tantangan untuk mencapai target NDC, sebut saja seperti illegal loging, konversi hutan menjadi perkebunan, dan bahkan pembangunan infrastruktur. [HARNOV/MOM-BA]
157