Bahtera Alam – Perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan dari negara harus menempuh perjalanan panjang. Meskipun telah banyak peraturan dan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat terkait pengakuan dan perlindungan MHA, jalan untuk mendapatkan hak-hak Masyarakat Adat tidaklah mudah karena perlu proses pendampingan yang intens dan dukungan dari parapihak serta kemauan politik yang kuat dari Pemerintah Daerah (Pemda) dengan mengenyampingkan berbagai kepentingan-kepentingan.
Dalam pasal 28I ayat 3 UUD NRI 1945, disebutkan tentang mengatur identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Begitu pula dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya. Pasal 18B UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa Undang-undang Sektoral juga memberikan jaminan hak-hak MHA, antara lain:
1. UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA);
2. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
3. UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
4. UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5. UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
6. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
7. UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Selain undang-undang, pemerintah melalui kementeriannya juga mengeluarkan peraturan-peraturan, antara lain :
1. Permendagri No 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
2. Permen ATR/BPN no 19 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat;
3. Permen LHK Nomor 17 tahun 2020 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Di daerah juga memiliki beberapa Peraturan Daerah (Perda) tentang MHA antara lain :
1. Perda Kabupaten Kampar Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat;
2. Perda Siak nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Kampung Adat ;
3. Perda Siak Nomor 95 Tahun 2017 Tentang Kewenangan Kampung dan Kampung Adat;
4. Perda Provinsi Riau nomor 14 tahun 2018 Tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5. Perda Provinsi Riau Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Kampar, sudah pernah mengajukan 7 (tujuh) usulan pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat dan Wilayah Adat. Dalam perjalanannya, pemerintah pusat menerbitkan SK pengakuan dan ada 2 (dua) Hutan Adat yang memperoleh legitimasi dari negara, yaitu Hutan Adat Imbo Putui di Kenegerian Petapahan dan Imbo Pomuan Serta Imbo Boncah Lidah di Kenegerian Kampa. Pengakuan dua Hutan Adat yang berada di Kabupaten Kampar ini merupakan yang pertama di Provinsi Riau. Pengalaman ini menjadi inspirasi bagi MHA di beberapa kabupaten lain untuk mengikuti langkah yang sama, bahkan beberapa perwakilan Masyarakat Adat telah berkunjung ke Kampar untuk belajar dan mendapatkan informasi bagaimana proses-proses pengajuan dilakukan hingga berhasil mendapatkan pengakuan dari negara.
Mewujudkan pengakuan MHA perlu keseriusan dari Pemda dan mereka harus menyiapkan regulasi tentang pengakuan MHA yang ada di wilayah administrasinya. Pemda juga harus menyiapkan Perda pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang komprehensif sebagai payung hukum, karena selama ini Perda yang dibuat tidak memayungi seluruh Komunitas Adat yang ada, sehingga Perda yang menjadi landasan hukum bagi MHA menopang sangat lemah ketika usulan pengakuan disampaikan ke Pemerintah Pusat. Hal ini telah terjadi, contohnya ketika usulan pengakuan Hutan Adat mengalami sandungan saat diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar untuk 5 (lima) kenegerian, padahal usulan pengakuan MHA sudah diterima dan disahkan oleh Pemda setempat dengan menerbitkan Surat Keputusan.
Provinsi Riau memiliki 12 kabupaten/kota yang terdiri dari 10 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah sebesar 87.023,66 km2, dan setiap kabupaten/kotanya memiliki MHA. Contohnya adalah Kabupaten Siak, Pemda Siak sudah menerbitkan Perda 8 (delapan) Kampung Adat yang mengakui Komunitas Adat yang ada di kabupaten tersebut, tetapi komunitas adatnya saat ini tidak bisa melanjutkan ke tahapan lebih tinggi terkait usulan pengakuan Hutan Adat karena dalam proses pengajuan tidak mendapatkan respon yang memadai dari Pemda Siak.
Contoh lain adalah Kabupaten Rokan Hulu. Kabupaten ini telah menerbitkan Perda Desa Adat tahun 2015 yang mengakui eksistensi 89 Desa Adat. Namun saat ini belum ada Komunitas Adat yang mengajukan usulan pengakuan Hutan Adat atau Wilayah Adat ke pemerintah setempat.
Selain itu, Kabupaten Indragiri Hulu pun telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 69 tahun 2020 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, namun dalam Perda ini tidak ada pasal yang mengakui keberadaan MHA di Kabupaten Indragiri Hulu.
Apabila Pemda mengakui usulan pengakuan MHA, maka Pemda akan menuangkannya dalam Perda Pengakuan MHA baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten, dan sebaiknya Perda berisi aturan-aturan komprehensif yang mendukung dan menopang pengakuan Komunitas Adat secara kuat sehingga kokoh sebagai perwujudan payung hukum saat pengajuan usulan pengakuan Hutan Adat ke tahap yang lebih tinggi.
Penulis : Nuskan Syarif/Editor : MH
153