Bahtera Alam – Ekosistem gambut berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, dan memiliki kemampuan menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari pada hutan di seluruh dunia, menjadikan ekosistem gambut sebagai salah satu kunci dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Berdasarkan data dari CIFOR (2019), Indonesia termasuk sebagai 5 besar negara pemilik lahan gambut di dunia dengan luas sekitar 22,5 juta hektar, yang tersebar di beberapa provinsi, salah satunya adalah Provinsi Riau. Diketahui bahwa Riau memiliki lahan gambut terluas di pulau Sumatera. Namun mengingat karakteristik lahan gambut yang mudah terbakar, tingkat kesuburan rendah, serta tingkat keasamannya yang tinggi, merupakan suatu tantangan untuk mengembangkannya menjadi lahan yang produktif. Oleh sebab itu, diperlukan sistem pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan agar dapat memberi manfaat secara optimal dalam berbagai aspek lingkungan, sosial maupun ekonomi.
Pengelolaan lahan gambut yang lestari dapat dipelajari ataupun dikembangkan melalui praktik yang telah dilakukan oleh para petani lahan gambut di Riau. Salah satu bentuk pemanfaatan lahan gambut adalah pengembangan komoditas Sagu (Metroxylon sagu). Sebagai tanaman penghasil pati, menurut beberapa literatur sagu memiliki kemampuan menghasilkan pati tiga sampai empat kali lipat dari jagung, beras dan gandum serta 17 kali lipat dari ubi kayu. Besarnya kuantitas pati yang dihasilkan oleh tanaman ini, menjadikannya sebagai alternatif pangan, bahkan berpotensi memperkuat program ketahanan pangan sekaligus sebagai bentuk salah satu perwujudan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pemanfaatan lahan gambut melalui tanaman sagu ini telah dilakukan oleh masyarakat Riau, salah satunya dilakukan oleh masyarakat/petani di Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau. Desa ini memiliki perkebunan sagu dengan luas sekitar 2.650 Ha dan terdapat 14 industri kilang sagu yang aktif beroperasi. Budidaya sagu dan produksi olahannya berupa pati sagu memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang berpeluang meningkatkan potensi ekonomi penduduk. Di samping itu, salah satu keunikan dari Desa Sungaitohor ini ialah sistem pengelolaan perkebunan sagu yang dikelola langsung oleh rakyat.
Budidaya sagu rakyat berbasis kearifan lokal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya penyelamatan ekosistem gambut oleh masyarakat Sungaitohor. Masyarakat Sungaitohor telah melakukan budidaya tanaman sagu sejak tahun 1970 an dan masih bertahan hingga menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat Sungaitohor hingga saat ini.
Proses pengelolaan tanaman sagu oleh masyarakat ini dikenal ramah lingkungan, misalnya dalam pola penanaman dan cara pembersihan lahan. Masyarakat menerapkan pembukaan dan pembersihan lahan tanpa bakar, melainkan hanya menggunakan alat-alat tradisional seperti parang.
Selain itu, petani sagu di Sungaitohor juga membuat sekat-sekat kanal dan pembuatan penutup dari sistem kanal, dan ini merupakan salah satu cara untuk menjaga keseimbangan air gambut. Jika menerapkan sistem kanalisasi yang banyak dilakukan pihak perusahaan skala besar, akan berdampak pada kondisi lahan gambut yang kekeringan, yang mengakibatkan menurunnya tingkat kesuburan dan produksi tanaman hingga rawan akan terjadinya kebakaran lahan dan hutan (Karhutla).
Eksistensi tanaman Sagu di Sungaitohor sebagai salah satu alternatif pemanfaatan dan penyelamatan lahan gambut sampai saat ini masih terus terjaga dan berkembang. Hal ini terbukti dengan diadakannya Festival Sagu Nusantara yang dilakukan pada tahun 2020 lalu. Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada festival sagu tersebut, seperti lomba menggolek (mendorong) tual sagu, menampilkan kerajian dari daun sagu yang dibuat langsung oleh perempuan pengrajin di desa Sungaitohor, hingga penyajian berbagai jenis makanan yang terbuat dari sagu, seperti Mie sagu, Lempeng sagu, dan aneka jenis kue (seperti Bagea sagu, Bangkit sagu, dan lain sebagainya).
Keunikan dan kearifan lokal masyarakat Sungaitohor dalam pengelolaan budidaya tanaman sagu, menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dilestarikan, dan dikembangkan hingga menjadi suatu sistem pengelolaan pertanian yang berkelanjutan. [Penulis : Indry Chahyana]
194