Bahtera Alam, Pekanbaru – Pada Februari 2021, Sajogyo Institute, Bahtera Alam, Sawit Watch, dan WRI bersama dengan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan melakukan sebuah studi bertema Hutan Adat Imbo Putui, sebuah hutan adat yang berada di tengah konsesi sawit. Studi ini dilakukan berangkat dari persoalan hak tanah ulayat di Kenegerian Petapahan yang bersengketa dengan perusahaan sawit, sehingga perlu dilakukan studi bagaimana situasi dan Kondisi Hutan Adat Imbo Putui, dulu dan sekarang setelah dikelilingi konsesi sawit. Selain itu studi akan menganalisis dampak kehadiran sawit dari sisi sosial, ekonomi, dan ekologi.
Riset yang baru saja selesai disusun dan ditulis kemudian menghasilkan poin-poin penting untuk menjadi informasi dan referensi bagi para pihak yang membutuhkannya. Oleh karena itu, menginformasikan hasil riset merupakan hal yang perlu dilakukan.
Pada hari ini, Selasa, 28 September 2021, Bahtera Alam dan Sawit Watch menyelenggarakan acara ‘Diseminasi Hasil Studi Hutan Adat Imbo Putui’ di Ruang Seminar Fakultas Pertanian Universitas Riau (UR). Acara ini rencananya ditaja pada pukul 13.00 WIB, akan menghadirkan narasumber peneliti dari Sawit Watch, Eko Cahyono dan Direktur Eksekutif Bahtera Alam, Harry Oktavian. Selain itu hadir pula Dosen dari Program Studi Kehutanan UR Dr. Defri Yoza, S.Hut., M.Si dan Datuk Majoindo (Datuk Pucuk Kenegerian Petapahan) Dr. Khaidir Muluk.
Acara diseminasi hasil studi dilakukan secara offline dan online, untuk online bisa bergabung di link zoom speerti tertera di flyer berikut ini.
Diketahui bahwa menapaki langkah menuju pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kenegerian Petapahan dan Pengakuan Hutan Adat (HA) Imbo Putui Kenegerian Petapahan, Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar merupakan perjalanan yang panjang.
Inisiasi membentuk Tim Kerja Percepatan Pengusulan Hutan Adat Kampar (TKP2HAK) pada 2017 kemudian terwujud, tujuannya mendorong dan mendampingi masyarakat adat di Kampar untuk mendapat Pengakuan MHA dan HA dari negara. Tim ini terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar, Yayasan Pelopor Sehati, Perkumpulan Bahtera Alam, dan World Resources Institute (WRI).
Pada 13 September 2018, tim bersama masyarakat adat mengajukan usulan pengakuan Hutan Adat di empat kenegerian kepada Bupati Kampar Azis Zaenal. Kurang setahun, terbit dua SK dari Bupati Kampar yaitu : Pertama, SK Bupati Kampar Nomor : 660 – 328/IV/2019 untuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kampa dan Pengakuan Hutan Adat Ghimbo Boncah Lidah dan Ghimbo Pomuan Kenegerian Kampa Desa Kampa dan Desa Koto Perambahan Kecamatan Kampa Kabupaten Kampar.
Kedua, SK Bupati Kampar Nomor : 660 – 491/X/2019 untuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan dan Pengakuan Hutan Adat Imbo Putui Kenegerian Petapahan Desa Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar.
Upaya untuk mendapatkan pengakuan akhirnya membuahkan hasil. Pada 21 Februari 2020, di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, Siak, Presiden RI menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk 39 SK Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, 2 Hutan Adat pada 9 kabupaten dan 10 KPH di Provinsi Riau. 2 Hutan Adat yang sudah diakui oleh pemerintah tersebut, yaitu : Pertama, Hutan Adat Imbo Putui di Kenegerian Petapahan dengan luas 251 hektar, diakui melalui SK Nomor: 7503/MENLHK-PSKL/ PKTHA/ KUM.1/9/2019, tanggal 17 September 2019.
Kedua, Hutan Adat Ghimbo Boncah Lidah di Kenegerian Kampa, dengan luasan 156,8 hektar, diakui melalui SK Nomor: 7504/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019, tanggal 17 September 2019. [BA/MOM]
